Thursday, July 01, 2010

Kisah Petualangan Seorang Mahasiswi Sulit Lulus ke Masa Lalu

Memutuskan untuk meng-update blog ini setelah mendapatkan bahan cerita baru. Apalagi setelah pembicaraan sama Mel tadi sore...

Mel: Saking sibuknya ngerjain skripsi, blog-ku ampe terlantar.
Aku: Oh ya? *seneng dapet temen senasib* Akhirnya blog-mu terlantar juga!
Mel: Iya, udah DUA HARI sejak aku terakhir nge-post...
Aku: .........................................................

Hari ini aku berkunjung ke SMA-ku tercinta (perlu ditekankan lagi bahwa ini berbeda dengan waktu aku mengatakan ‘universitasku tercinta’. Yang satu mengandung sarkasme dan yang satu tidak. Coba tebak mana yang tulus dan mana yang sarkastis.) untuk melegalisir ijazah lagi untuk universitasku tercinta yang suka ngerepotin orang dengan masalah nggak penting (jelas-jelas ijazah udah dikasi dari zaman pendaftaran dulu.. emang mau diapain lagi sih?) sebagai persyaratan sidang skripsi.

Oh, ya! Mahasiswi yang nggak lulus-lulus ini akhirnya sudah akan sidang skripsi! Hore!

Statusnya hari ini adalah: H-8 menuju deadline skripsi.
Berapa kali aku pernah belajar/mengerjakan apa pun yang berhubungan dengan tugas sekolah/kuliah sampai jam tiga pagi sepanjang hidupku: 0 (NOL)

... sampai KEMARIN MALAM.

Minggu neraka sudah dimulai.

(Well, setidaknya ini dimulai seminggu sebelumnya, bukan sehari sebelumnya seperti seorang mahasiswi nggak lulus-lulus lain yang kita kenal waktu mengerjakan KP-nya… *lirik-lirik blog sebelah*)

Oke. Kembali ke kunjungan ke SMA-ku tercinta. Berhubung ini udah masa libur, maka nggak seorang pun anak SMA imut-imut yang pake seragam terlihat di sekolah. Yang ada malah tukang-tukang bangunan yang sepertinya sedang merenovasi bangunan sekolahku… LAGI. Kayak belom cukup aja aku nggak ngenalin tuh tempat lagi.

Pos satpam tempat aku biasa turun udah nggak ada. Jadi aku masuk dari satu-satunya pintu terdekat yang terlihat.

Di depan pintu ketemu salah satu mantan guru BP-ku. Dia masih inget aku *senang* Aku juga inget dia, dibuktikan dengan bagaimana otakku langsung menyuplai namanya dengan mudah. Aku menjelaskan tujuan kedatanganku dan segera melanjutkan misiku.

Masuk ke dalem… tengak-tengok. Kantor TU di mana yah? Apakah ruangan berbentuk kantor guru yang penuh orang itu? Celingak-celinguk, ruangan ini enggak ada papan namanya! Sungguh nggak membantu. Insting mengatakan di atas, jadi aku naik ke lantai 2, yang adalah tempat ruang guru & TU semasa aku sekolah dulu… lima tahun yang lalu.

Dan berhubung semuanya udah berubah, tentu saja kantor-kantor itu udah nggak di tempatnya semula. Yang ada lab-lab keren praktikum yang modern yang dulu kami nggak pernah punya.

Sh!t. Aku bener-bener kesasar.

Turun lagi dan celingak-celinguk kayak anak ilang.

Lewat lagi di depan ruang berbentuk kantor guru yang penuh orang itu dan kali ini berpapasan dengan mantan guru SD-ku. Dia juga masih inget aku (Astaga, kok aku bisa nempel banget di ingetan guru-guru ini padahal aku udah ansos dari dulu), terus dia langsung nodong nanya apa aku masih inget dia. Kubilang inget, dan untungnya aku emang inget. Masih nggak yakin, dia nanya siapa namanya. Dengan PD aku langsung menyebutkannya. Terima kasih, otak dan memori jangka panjang yang baik! (Untung aku gak ketemu beberapa guru yang aku MEMANG lupa namanya, yang sempat kuceritakan di kunjungan terakhirku ke SMA ini… Ga enak banget kan kalo harus bilang, “Er… anu, Bu, saya inget muka Ibu, tapi nama Ibu siapa ya?”)

Akhirnya, dengan bijaksana memutuskan untuk bertanya ke orang yang paling aman untuk ditanyai: Pak Satpam! Untungnya dia ada di deket pintu. (Begitu juga dengan mantan guru BP-ku, tapi kok nggak enak ya rasanya nanyain sama dia ruang TU di mana serasa bukan mantan murid situ…) Pak Satpam tua yang baik itu pun memberi petunjuk bahwa ruang TU ada di lantai 3.

Naik-naiklah aku ke puncak gunung dan teringat betapa melelahkannya dulu mendaki tangga setiap hari itu. Di depan sebuah ruangan ada seorang ibu-ibu dan anaknya lagi duduk. Kusimpulkan bahwa ini ruang TU. Aku mengintip ke dalam dan bilang permisi sama ibu-ibu TU yang sumpah-aku-ga-pernah-tau-namanya-padahal-dulu-sering-nemenin-Tama-beli-kertas-ulangan-sama-dia… dan menjelaskan maksud kedatanganku. Katanya, suruh tinggal aja ijazahnya. Terus dia bilang, “Kok cuma selembar? Tanggung amat, daripada bolak-balik fotokopi aja dulu lima lembar gitu.”

Hoe. Oke deh… Aku bertanya apa di sekitar situ ada tempat fotokopi. (Dulu ada, tapi sekarang SUSAH BANGET menemukan apa pun lagi.) Dia bilang ada di bawah. BAWAH. Bawah… dengan yakin ga butuh petunjuk lebih lanjut, aku dengan sok tau pergi ke bawah.

Ga ketemu, tentu saja. Aku inget di mana tempat fotokopi itu berada lima tahun yang lalu, tapi akibat renovasi total, aku nggak bisa mengenali apa-apa lagi. Aku mencoba membayangkan letak tempat fotokopi itu dulu dan di mana dia bakal berada sekarang… dan gagal. (Aku memang lemah dalam hal persepsi ruang.) Lagian, kayanya nggak mungkin deh tuh tempat fotokopi masih ada di sana kalo semua tempat di sekitarnya udah digusur. (Atau lebih tepatnya, DITEMBOK.)

Terpaksa aku bertanya pada Pak Satpam yang baik lagi. Eh, dia malah bilang suru pergi ke tempat fotokopi yang di luar. Yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki tapi agak jauh. Aku akhirnya menyuruh supirku ke sana, tapi dia dengan baik hati menawarkan diri untuk jalan kaki ke sana. Oke deh. Aku pun menunggu di dalam mobil yang ber-AC seperti Princess yang baik.

Tak lama kemudian dia kembali dengan lima kopi ijazahku. Aku pun kembali ke TU. Bertanya-tanya apa ada yang sudah mulai curiga dari tadi anak aneh yang bukan penduduk sekolah ini mondar-mandir gak jelas mau ngapain. Sampai di TU, ibu-ibu TU sudah nggak ada. Yang ada bapak-bapak TU (aku tahu, AKU TAHU, aku payah banget dalam mengingat nama orang-orang administrasi) yang lagi telpon. Aku memutuskan menunggu di depan pintu yang sedikit terbuka.

Telponnya gak kelar-kelar.

Ibu-ibu yang bawa anaknya itu masih dengan sabar menunggu (kayaknya menunggu Kepala Sekolah yang lagi MIA). Dia menangkap mataku terus senyum. Aku otomatis senyumin balik, walaupun otak udah berteriak-teriak panik, “Um. Ada apa ini? Aku gak kenal dia. Aku gak kenal dia kan??”

Telponnya masih gak kelar-kelar.

Setelah sekitar lima menit, memutuskan untuk duduk di sebelah sang ibu, yang ternyata emang orangtua murid dan aku gak kenal (maklum, aku nggak terbiasa ngasih senyum ke orang tak dikenal. Kepanikan tadi murni disebabkan oleh betapa ansosnya saya…). Kenapa aku bisa tahu? Karena dia nanya, “Mau masuk ya?”

Aku berpikir: Maksudnya mau masuk TU atau masuk SMA sini? Dua hal yang sangat berbeda. Yang satu jawabannya ya, yang satu jawabannya tidak.

Akhirnya memutuskan untuk mengklarifikasi kedua pertanyaan sekaligus dengan bilang bahwa aku mau legalisir ijazah. Dia bilang, “Oh… kirain baru mau masuk sini.”

Um. Oke deh. Se-absurd apa pun itu, aku senang karena tampangku masih pantes dikira anak lulusan SMP yang baru mau masuk SMA.

Si ibu-ibu kemudian menginterogasiku, nanyain kuliah di mana lah, jurusan apa lah, IMC itu ngapain lah (SERIUS DEH, itu selalu hal pertama yang ditanyakan semua orang. Pembicaraannya selalu berjalan seperti ini… Orang: Kamu ambil jurusan apa? Aku: Komunikasi. Orang: Ada pembagian lagi? Konsentrasinya apa? Aku: IMC/Marketing Communication. Orang: Marketing Communication itu apa ya/ngapain aja ya? Aku: *menjelaskan untuk keseribu kalinya, dan setiap kali masih merasa nggak yakin aku sendiri ngerti* Biasanya kalo males aku cuma bilang, “Oh, itu advertising.” Dan aku nyaris bisa merasakan tatapan tajam dosen tercinta Mel kalo dia ampe denger penjelasan ngaco ini…)

Begitulah pembicaraan itu berlanjut. Bukannya nanyain soal bagus nggak SMA-ku itu, dia malah nanyain soal kuliahku. Jangan sampe dia berniat masukin anaknya ke universitasku tercinta… Oh tidak, jangan-jangan aku telah nggak sengaja menjerat mangsa baru! Seharusnya dia tanya-tanya soal SMA-ku aja, dong! Kan anaknya mau masuk SMA? Aku akan dengan senang hati mempromosikan SMA-ku dan bilang bahwa hari-hari terindahku kuhabiskan di sana… (walaupun sekarang kurikulum dan segalanya udah berubah drastis dan pendapatku pasti nggak valid lagi. Aduh. Aku baru saja memakai kata valid. SKRIPSI SIALAN!)

Ada satu titik di mana aku butuh waktu beberapa detik untuk menjawabnya.

Ibu-ibu itu: Komunikasi itu berapa tahun ya?
Aku: ………… Empat tahun.

SECARA TEKNIS, aku gak bohong. Kuliah komunikasi yang normal emang cuma empat tahun, tiga setengah malah kalo anaknya rajin mampus. Lima tahun itu kan cuma aku. Jadi bener kan jawabanku? Kan dia nanyanya kuliah komunikasi berapa tahun. Bukan kuliahku berapa tahun…

Tapi aku jadi khawatir kebohonganku ketahuan waktu dia nanya lagi,

Ibu-ibu itu: Kamu lulus dari sini tahun berapa?
Aku: …………… 2005. *membayangkan otaknya bekerja menghitung-hitung ini sudah tahun berapa… di mana kibulanku tadi bakal langsung ketahuan. Untungnya, kalau dia menyadari keanehan itu, dia nggak nanya lagi. Syukurlah…*

Sementara itu,

TELPONNYA MASIH GAK KELAR-KELAR.

Terus ada bapak-bapak dateng, di mana aku bertanya-tanya apa ini Kepala Sekolahnya yang sekarang (bukan, ternyata), dan begitu dia masuk TU, berapa detik kemudian bapak-bapak TU selese nelpon dan melayani dia! ARGH! Aku mulai gak tahan duduk di situ. Aku harus cepet-cepet ke kampus.

Mana panas mampus lagi. Entah global warming atau apa, tapi aku nggak inget udaranya sepanas itu di luar kelas dulu waktu aku sekolah di sana. Kayaknya dulu teduh deh. Tapi tadi pagi bener-bener serasa di oven.

Apa karena itu di lantai tiga yah? Padahal ruangan-ruangannya udah dimundurin lagi dan makin jauh dari balkon terbuka daripada waktu aku di sana dulu… Sungguh aneh.

Akhirnya memutuskan untuk memotong pembicaraan bapak-bapak TU dan bapak-bapak tak dikenal karena aku kan cuma mau naro ijazah doang. Si ibu-ibu dan anaknya tenang banget serasa di ruangan ber-AC, tapi aku udah nggak tahan. Jadi aku pun berdiri dan mengintip ruang TU lagi…

Dan dengan keajaiban (atau entah karena melihat aku yang dari tadi nungguin mo masuk), si bapak-bapak tak dikenal tiba-tiba pamit pada bapak-bapak TU dan pergi pas aku sampai di depan pintu. SYUKURLAH! Aku pun meninggalkan ijazahku, walaupun gak jelas kapan bisa diambilnya (kalo hari itu Kepseknya dateng baru besok bisa diambil… Apakah sang Kepsek sedang liburan juga?).

Aku pun pamit pada si ibu-ibu orangtua murid dan cepat-cepat kabur dari situ. Turun tangga satu lantai, dengan bodohnya langsung belok kiri ke arah luar… dan menyadari bahwa INI KAYAKNYA BUKAN JALAN KELUAR YANG TADI DEH. Aku menemukan diriku di depan aula olahraga, di mana dulu V pernah ngumpet waktu telat masuk kelas Ekonometri gara-gara semua anak yang telat wajib joget di depan kelas. Dengan bodoh menyadari bahwa aku masih di lantai dua, bukan lantai satu.

ARGH! Kesasar di SMA sendiri, nggak lucu banget. Merasa bodoh, turun tangga lagi dan AKHIRNYA keluar dengan selamat.

Hari Senin kayaknya baru aku niat balik ke sana. Daripada Jumat dateng tapi ternyata belom ditandatangan…

Doakan petualanganku ke sana waktu mengambil ijazah yang udah dilegalisir nggak begitu penuh halangan dan rintangan seperti hari ini, ya! (Dan supaya aku nggak kebetulan bertemu guru yang aku lupa namanya… terus juga supaya aku lebih nyadar arah dan bisa mengingat jalan dengan betul.)

1 comments:

Anonymous said...

APA?! H-8 dan kamu masih sempat posting?

APA?!?! H-8 dan aku masih sempet baca dan komen?