tag:blogger.com,1999:blog-84743082937528204732024-03-09T04:37:09.960+07:00She's A Lady In DisguiseCorneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.comBlogger34125tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-25248873406501065042019-05-01T09:30:00.001+07:002019-05-01T09:53:24.676+07:00Birokrasi Gak Jelas ala JakartaWow. Bentuk blogger sekarang aneh banget dan sangat tidak familier. Rasanya seperti ngetik di Google Drive. Btw, untuk sign in ke sini aja merupakan tantangan, lho, saking lamanya aku nggak sign in. Butuh tiga kali tebakan untuk menentukan akun gmail mana yang terikat dengan blog ini.<br />
<br />
Dan sekarang aku berasa ada di Twilight Zone ngetik ini.<br />
<br />
<i>Anyway...</i><br />
<i><br /></i>
Enam tahun sejak <i>entry </i>terakhirku. Dan sekarang saya sudah menikah dan hidup di luar negeri. Betapa banyak hal yang bisa berubah dalam beberapa tahun saja! Dulu kukira aku bakal jadi <i>crazy cat lady</i> dan meninggal sendirian dikelilingi 14 kucing di rumah orang tuaku. Senang rasanya tahu nasib berbaik hati memberikan takdir yang relatif lebih menyenangkan.<br />
<br />
Alasanku kembali kemari adalah untuk menceritakan proses menggelikan yang kulalui waktu mencoba minta surat keterangan belum menikah dari Kelurahan di Jakarta untuk dibawa menikah di luar negeri.<br />
<br />
Dahulu kala, ini proses yang sederhana. Jadi, aku pergi ke kelurahan dengan harapan cepat kembali membawa surat yang diperlukan. Tapi sejak seorang Gubernur baru naik takhta beberapa tahun lalu, ternyata oh ternyata, sekarang jika kamu mau menikah di Jakarta, kamu memerlukan sesuatu yang namanya Sertifikat Layak Kawin.<br />
<br />
Wow, wow, mau kawin perlu sertifikat?<br />
<br />
Iya. Surat ini diterbitkan oleh Puskesmas. Dan untuk mendapatkannya kamu harus diperiksa kesehatan dan konseling dahulu.<br />
<br />
Waktu kakakku menikah sekitar dua tahun lalu nonsens ini belum ada.<br />
<br />
Udah gitu, siapa sih yang nggak 'layak' kawin? Kok kesannya menghina banget? Bukankah semua orang layak untuk menikah?<br />
<br />
Aku sudah menjelaskan aku mau menikah di luar negeri, dan peraturan ini hanya untuk orang-orang yang pernikahannya didaftarkan di Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama, tapi kelurahan tetap berkeras aku perlu Sertifikat Layak Kawin.<br />
<br />
Setelah tahu aku harus diperiksa kesehatan dan konseling macam-macam soal KB, anak, dan sebagainya... <i>You know what I did?</i><br />
<i><br /></i>
<i>I said, fuck that.</i><br />
<i><br /></i>
Aku pun memutuskan aku tidak perlu surat keterangan belum menikah. Sejak kapan orang mau menikah privasinya harus dijajah seperti ini? Lalu kenapa kalau aku sakit? Okelah, untuk penyakit menular seksual itu memang tanggung jawabku untuk menceritakan kepada pasangan. Tapi itu juga seharusnya bukan urusan pemerintah, 'kan? Dan konseling tentang punya anak dan segalanya itu baik jika ditawarkan sebagai layanan opsional (lebih bagus lagi kalau gratis!) Tapi wajib? <i>Heck, no. I ain't going to talk about that crap with a random stranger.</i><br />
<i><br /></i>
Dengan yakin aku pun berangkat tanpa membawa surat gak penting itu. Dan ternyata? Memang nggak perlu. City Hall di tempatku menikah nggak membuat surat keterangan belum menikah sebagai persyaratan untuk menikah, cukup pernyataan dariku saja bahwa aku belum pernah menikah. Memang cuma Indonesia yang punya birokrasi gak penting dan bertele-tele, semakin lama semakin menginvasi privasi penduduknya. Di luar negeri menikah itu urusan kita sendiri, dan kalau memang ketahuan bohong bilang belum menikah padahal sudah, nanti yang repot juga kita sendiri karena pernikahannya dinyatakan tidak sah.<br />
<br />
So, <i>fuck that,</i> Jakarta. <i>I'm glad I decided I didn't need your petty bureaucracy. </i><br />
<i><br /></i>
Nggak heran makin banyak orang pindah ke luar negeri. Setelah aku jadi penduduk tetap di sini, rasanya aku nggak bakal pulang-pulang lagi kecuali untuk reuni dengan keluarga. Kalo bisa sebenarnya aku berharap mereka juga pindah ke sini.<br />
<br />
Indonesia, oh Indonesia. Kamu cuma bikin capek hati.Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-69623416937722799212013-07-15T00:25:00.005+07:002013-07-15T00:37:07.815+07:00Everything You Need To Know About Introverts<div style="text-align: justify;">
Source: somewhere on the internet. If you know, please comment so I can give credit where credit's due. I decided to post this because so many people do not understand what it's like to live my life.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;">
<div style="text-align: justify;">
<b>Top 10 Myths About Introverts</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><br /></b>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<b>Myth #1 – Introverts don’t like to talk.</b></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
This is not true. Introverts just don’t talk unless they have something to say. They hate small talk. Get an introvert talking about something they are interested in, and they won’t shut up for days.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<b><br /></b></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<b>Myth #2 – Introverts are shy. </b></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
Shyness has nothing to do with being an Introvert. Introverts are not necessarily afraid of people. What they need is a reason to interact. They don’t interact for the sake of interacting. If you want to talk to an Introvert, just start talking. Don’t worry about being polite.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<b>Myth #3 – Introverts are rude. </b></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
Introverts often don’t see a reason for beating around the bush with social pleasantries. They want everyone to just be real and honest. Unfortunately, this is not acceptable in most settings, so Introverts can feel a lot of pressure to fit in, which they find exhausting.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<b>Myth #4 – Introverts don’t like people.</b></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
On the contrary, Introverts intensely value the few friends they have. They can count their close friends on one hand. If you are lucky enough for an introvert to consider you a friend, you probably have a loyal ally for life. Once you have earned their respect as being a person of substance, you’re in.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<b>Myth #5 – Introverts don’t like to go out in public. </b></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
Nonsense. Introverts just don’t like to go out in public FOR AS LONG. They also like to avoid the complications that are involved in public activities. They take in data and experiences very quickly, and as a result, don’t need to be there for long to “get it.” They’re ready to go home, recharge, and process it all. In fact, recharging is absolutely crucial for Introverts.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<b>Myth #6 – Introverts always want to be alone.</b></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
Introverts are perfectly comfortable with their own thoughts. They think a lot. They daydream. They like to have problems to work on, puzzles to solve. But they can also get incredibly lonely if they don’t have anyone to share their discoveries with. They crave an authentic and sincere connection with ONE PERSON at a time.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<b>Myth #7 – Introverts are weird. </b></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
Introverts are often individualists. They don’t follow the crowd. They’d prefer to be valued for their novel ways of living. They think for themselves and because of that, they often challenge the norm. They don’t make most decisions based on what is popular or trendy.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<b><br /></b></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<b>Myth #8 – Introverts are aloof nerds. </b></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
Introverts are people who primarily look inward, paying close attention to their thoughts and emotions. It’s not that they are incapable of paying attention to what is going on around them, it’s just that their inner world is much more stimulating and rewarding to them.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<b>Myth #9 – Introverts don’t know how to relax and have fun.</b></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
Introverts typically relax at home or in nature, not in busy public places. Introverts are not thrill seekers and adrenaline junkies. If there is too much talking and noise going on, they shut down. Their brains are too sensitive to the neurotransmitter called Dopamine. Introverts and Extroverts have different dominant neuro-pathways. Just look it up.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<b>Myth #10 – Introverts can fix themselves and become Extroverts.</b></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
A world without Introverts would be a world with few scientists, musicians, artists, poets, filmmakers, doctors, mathematicians, writers, and philosophers. That being said, there are still plenty of techniques an Extrovert can learn in order to interact with Introverts. (Yes, I reversed these two terms on purpose to show you how biased our society is.) Introverts cannot “fix themselves” and deserve respect for their natural temperament and contributions to the human race. In fact, one study (Silverman, 1986) showed that the percentage of Introverts increases with IQ.</div>
</div>
<b><br /></b>
<b>How To Care For Introverts</b><br />
<b><br /></b>
<br />
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
•<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Respect their privacy.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
•<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Never embarrass them in public.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
•<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Let them observe first in new situations.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
•<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Give them time to think. Don't demand instant answers.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
•<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Don't interrupt them.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
•<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Give them advanced notice of expected changes in their lives.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
•<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Give them 15 minute warnings to finish whatever they are doing before calling them to dinner or moving on to the next activity.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
•<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Reprimand them privately.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
•<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Teach them new skills privately rather than in public.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
•<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Enable them to find one best friend who has similar interests and abilities; encourage this relationship even if the friend moves.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
•<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Do not push them to make lots of friends.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
•<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Respect their introversion. Don't try to remake them into extroverts.</div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
Also watch this educational video: <a href="http://www.youtube.com/watch?v=y-RoL3Xl0u8"><span style="text-align: center;">T</span>rue Facts About the Introverts</a></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
Features the quote which is basically my life: "A good way to annoy an introvert is to tell it, 'You're so quiet'. No shit, asshole, what's your point?"</div>
</div>
</div>
Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-20474562024434943312013-07-12T00:35:00.004+07:002013-07-12T00:45:02.825+07:00The Truth Hurts... and This is MineWarning: This entry will be more 'controversial' than any of the existing ones. Also, swear words. A lot. You may be traumatized if you're not used to seeing me talk like this. If you still want to keep that sweet, happy image of me in your mind, please do not proceed.<br />
<br />
Inget waktu aku bilang ada sisi diriku yang nggak bisa kubagi dengan siapa pun di dunia nyata kecuali orang-orang tertentu? Well... belakangan ini sisi tersebut udah terlalu lama dipendam dan sekarang ada sesuatu yang perlu dikeluarkan.<br />
<br />
Untuk alasan tertentu, mohon maaf atas penggunaan bahasa campuran karena, damn it, the English vocab is way more expressive.<br />
<br />
I'm perfectly aware this is a public blog which means anyone can read it if they ever found out about the URL. And even if I've never mentioned my name here, it's not like it's a huge secret either. But whatever. I need to let this out and I left my diary back home. And I don't feel comfortable dumping my drama on the people I trust not to judge (because I'm not sure they want to hear it). And maybe a part of me is also hoping that by putting this out in the open like this, then one of the people involved in the drama will read it and know the truth about what I think.<br />
<br />
It's been a few long years filled with drama at home. It's partially (or largely, I suspect) why I fled all the way across the world. I was tired of being miserable. I couldn't live in that hell anymore. It's not my problem, and I'm young. I'm not supposed to live like that. I'm supposed to live my own life, discover myself and all that bullshit, carpe diem, and be happy.<br />
<br />
Which I did since I got here, so that was the right decision. Maybe I should thank the drama after all since it propelled me to leave.<br />
<br />
But anyway, the point is, my parents are not in a good place. I'm not going to into details about their drama, but suffice it to say they hate each other these days. And today I got news that they're not even talking anymore, and they're even sleeping in different rooms.<br />
<br />
It's news like this that makes me want to beg and plead my way out of my home country and stay here forever and ever. This is my happy place.<br />
<br />
But that's not the thing that infuriates me the most. What makes me most frustrated is the phrase that has been uttered over and over again during the whole time this happened: that I am supposed to be their salvation. People keep saying I'm the only one who can fix this situation, who can return peace into our home, who can make my parents see the light.<br />
<br />
Well, GUESS WHAT, WORLD? I'M NOT A FUCKING MESSIAH.<br />
<br />
I can't solve your problems. It's YOUR problem. It's YOUR drama. Why the F should I involve myself in it. Why the F should I have to be the one to fix it. THIS MAKES NO SENSE. They are my parents. Maybe they should help me fix my problems, but it isn't the other way around. They're grown ass people. They're supposed to KNOW BETTER. They're supposed to be wiser. To place this burden on me like so many people have is fucking unfair.<br />
<br />
What if I don't want to 'save' my family? What if I'd rather they get separated and be happy each with their own lives? Nobody has ever asked me that. Of course not. Of course everyone assumed that I wanted us to stay a family. But guess what? This may come as a shock, but there's no point in keeping up the illusion if nobody's actually happy. Maybe it's time to cut our losses and give up. Maybe it's past saving. Maybe we'll ALL be MUCH HAPPIER if we were NOT together.<br />
<br />
Did they ever think of that?<br />
<br />
Of course not.<br />
<br />
It is times like these that I wish we weren't a bunch of people stuck in old principles and ideas about love and family. Because let's face it; the love's gone. It has been gone for a long time. And maybe nothing will ever bring it back. And sometimes, you just have to accept it and move on. Sometimes, you're not meant to keep fighting. Because it'll only make things worse.<br />
<br />
If the choice were to stick to your 'obligation' and stay together for the sake of image or pride or whatever or do what needs to be done so you can be free and happy, why the hell would anyone pick the former? I'm a hopeless romantic, and even I can see that this situation is not salvageable. You can't force someone to love you if they don't anymore.<br />
<br />
Or maybe I'm just a cynic and a pessimist.<br />
<br />
But I'm also realistic. I know one of them is not the kind of people who believe in divorce, but it's not like they haven't done it before. If it was so easy the first time, why is it so hard now? It's not like their kids are all still young. We're all grown ass adults too now. One of us is married. I'm the youngest and I'm a freaking quarter of a century old. So what, I ask again, is the point of staying together?<br />
<br />
No one's going to get beaten up over it. I suspect I will actually throw a celebration if they finally did it.<br />
<br />
For God's sake. It's all very simple to me, but people are being ridiculously idealistic and I'm just so angry. I'm not even sad or upset anymore. I'm freaking FURIOUS over this whole situation.<br />
<br />
Sort your stuff out; you're all behaving like children. And I thought you're supposed to be the parents.<br />
<br />
No love,<br />
- Your apparently much more mature daughter<br />
<br />
And this is my truth. I've finally set it free.<br />
<br />
Judge me for that all you like, I don't even effing care anymore.Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-60014803175078364112013-06-19T14:17:00.001+07:002013-06-19T14:35:55.964+07:00Terinspirasi...Setiap kali aku kembali mengunjungi Superbyq, aku jadi terinspirasi untuk nulis di sini lagi... Sayangnya, aku selalu lupa untuk berkunjung ke sana lebih sering *ditimpuk*<br />
<br />
Rasanya aneh nulis pake bahasa Indonesia lagi. Setelah beberapa tahun terakhir aku mulai berpikir dan bermimpi dengan bahasa Inggris, dan setahun terakhir betul-betul tinggal di negara berbahasa Inggris, rasanya aku makin kehilangan bahasa ibuku aja. Sempet berpikir untuk nulis ini dengan bahasa Inggris juga, tapi... blog ini udah konsisten ditulis dengan bahasa Indonesia, dan ini mungkin berguna sebagai tantangan untuk kembali mengenali bahasaku sendiri.<br />
<br />
Mikirin soal Byq dan pertemanan lagi, aku jadi kepikiran satu hal yang pernah aku singgung ke dia beberapa waktu lalu. Aku bukan orang yang punya banyak temen. Temen sungguhanku bisa diitung dengan jari, dan sahabat aku cuma punya tiga. Walau begitu, aku punya jenis temen yang berbeda-beda. Dan rasanya, mereka kenal aku dengan cara yang berbeda-beda pula.<br />
<br />
Sahabat-sahabatku kenal sisi terbaikku. Mereka sudah kenal aku sejak SMA, tapi masih banyak hal-hal tentang aku yang nggak kuceritakan pada mereka. Banyak 'rahasia' yang kusimpan dari mereka, banyak pikiran-pikiran yang nggak kubagi. Byq kenal sisi 'kurang sempurna'ku. Dia kenal bagian dari diriku yang <i>bitter</i>, terutama di masa-masa kita kuliah. Dan bagaimana aku bukan calon ibu yang baik dan nggak sesabar yang sahabat-sahabatku mungkin kira. Ada alasan kenapa orang-orang tertentu mengenal sisi-sisi yang berbeda. Karena nggak semua dari mereka bakalan mengerti sisi-sisi tersebut. Sahabat-sahabatku, misalnya, nggak akan ngerti kalo aku komplain soal universitas tercintaku. Mereka nggak akan ngerti kalo aku betul-betul pengen ngebom tempat itu. Dan mereka nggak akan ngerti bagaimana lima tahunku di sana penuh kesengsaraan. Byq mengerti, dan bukan hanya karena kami melaluinya bersama-sama.<br />
<br />
Apakah kita berbagi hal-hal tertentu dengan orang-orang tertentu tergantung dengan hubungan kita dengan mereka? <i>Absolutely</i>. Aku merasa nyaman mengumbar semua sisi kurang menarikku di depan Byq karena aku tahu: <i>she won't judge me</i>. Ironis karena sahabat justru orang yang seharusnya punya definisi itu, tapi... kenyataannya aku nggak merasa nyaman membagi beberapa fakta tentang diriku dengan mereka yang kupanggil sahabat. Bukan salah mereka, sih. <i>Some judgments we make subconsciously. Without even meaning it.</i><br />
<br />
Teman-temanku yang aku kenal dari dunia <i>online</i> mengetahui sisiku yang lain lagi. Mereka mengenal sisi penulisku, mereka tahu betul gaya menulisku, tipe jalan cerita favoritku, tipe-tipe karakterku, nama-nama karakter favoritku. Obsesi-obsesiku terhadap karakter-karakter fiksi di media. Mereka mengenalku sebagai orang yang sangat berbeda dengan yang dikenal keluarga dan teman-temanku. Mereka juga melihat sisi-sisiku yang jarang atau bahkan nggak pernah diperlihatkan ke orang lain. Hal-hal yang kutulis yang mungkin <i>shocking</i> buat orang-orang lain dalam hidupku. (Percaya deh, nggak semua tulisanku bisa kuperlihatkan ke orang-orang di sekitarku). Dan dengan cara yang sama, <i>I'm never afraid that they will judge me or my writing</i>.<br />
<br />
Punya jenis-jenis temen yang berbeda itu mengagumkan. Karena setiap orang punya sisi yang berbeda-beda walaupun tanpa <i>multiple personality disorder</i>. Rasanya aku nggak punya satu orang dalam hidupku yang kenal semua sisi diriku. Mungkin itu sebabnya aku belum menemukan Mr. Right... Karena aku masih belum merasa nyaman betul-betul jadi diriku sendiri sepenuhnya dengan siapa pun.<br />
<br />
P.S. Abis baca-baca <i>entry </i>lama, jadi inget persaingan 'sehat'ku dengan sepupuku yang akhirnya juga masuk universitasku tercinta. Mau tahu <i>update </i>terakhir dari persaingan kami? Tahun ini dia juga sekolah di UK, tepatnya di Newcastle. Hebat kan?Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-80235048176617004242011-11-10T21:11:00.000+07:002011-11-10T21:11:56.880+07:00Tentang PertemananHari ini entah kenapa tiba-tiba rindu mengecek blog ini. Tepatnya beberapa hari lalu sih, untuk tujuan yang aku udah lupa, aku perlu ngecek blog ini. (Oh iya, buat ngecek tipe personality yang hasilnya ku-posting di sini waktu itu) Saking udah lama nggak pernah dibuka, harus ngetik <i>full address</i> blog-nya di <i>browser</i> karena sejak make laptop terakhir ini belom pernah buka sama sekali. Agak sedih memang. Tapi kemarin pun aku cuma baca-baca ulang beberapa <i>entry</i> lama (aneh nggak sih kalo aku suka melakukan ini? Apa aku satu-satunya <i>blogger</i> yang suka baca-baca ulang <i>entry</i> lama?) lalu <i>move on</i> lagi. Baru hari ini, waktu nggak ada kerjaan dan pengen buka sesuatu yang baru, aku pun membuka kembali blog ini dan akhirnya teringat untuk mengecek apakah Mel/Byq tetap meng-<i>update</i> Superbyq-nya selama aku absen sepenuhnya dari dunia blog selama ini.<br />
<br />
Tentu saja dia tetap <i>update</i>. Dan aku pun pertama-tama meng-klik bulan terakhir di mana aku masih membaca Superbyq dan mencoba <i>catch up</i> dari sana. Ada banyak sekali <i>entry</i> yang menungguku dan ini kayanya bakal makan waktu seharian. Tapi beberapa jam kemudian aku nggak sadar udah menghabiskan waktu lama nongkrongin Superbyq dan membaca-baca semua <i>entry</i> yang aku lewatkan selama ini. Dan aku menikmatinya. <br />
<br />
Ini bukan betul-betul perjalanan ke masa lalu. Tapi ini mengingatkanku akan kebiasaan burukku kalo udah lulus/naik kelas: melupakan orang-orang yang sudah lama nggak kutemui. Kata orang mempertahankan teman itu lebih susah daripada mencari teman. Buatku dua-duanya susah. Malah mungkin mencari teman baru lebih susah. Makanya aku selalu lebih senang mencoba mempertahankan hubungan. Temen-temen SD-ku udah pada nggak tau ke mana dan hanya kadang-kadang masih kontak karena adanya Facebook dan/atau BBM, dan satu-satunya kelompok teman yang berhasil kupertahankan untuk tetep deket (baca: jalan bareng setidaknya beberapa bulan sekali) adalah teman-teman SMA-ku. Yang lain udah jarang ketemu, tapi kami berempat masih rajin jalan dan selalu berusaha menyempatkan diri ketemu. Akhir-akhir ini makin susah karena semuanya kerja dan satu sekolah di luar negeri (kecuali aku yang malas ini), tapi kami mencoba tetap nggak <i>lost contact</i>.<br />
<br />
Membaca Superbyq membuatku kangen dengan Mel. Mungkin dia akan kaget karena kami nggak pernah sedeket itu ataupun melakukan hal-hal yang terlalu emosional semasa pertemanan kami. Hubungan kami adalah hubungan simbiosis mutualisme dan kedekatan yang terjadi hanya ada di kampus. Kami cukup tahu hal-hal <i>basic</i> tentang satu sama lain dan itu sudah cukup. Tapi dia satu-satunya temanku yang konstan semasa kuliah; satu-satunya orang yang kukenal dan tetep ada di deketku dari semester pertama sampe semester terakhir. Dengan caranya sendiri, <i>she is important to me</i>. Tanpa dia mungkin aku nggak bakal sanggup melewati hari-hari penuh cobaan di universitas kami tercinta itu (Dramatis mode: ON). <i>As cheesy as it sounds, she was my rock</i>. Dan aku nggak mau hanya karena kuliah sudah berakhir untuk kami berdua, lalu pertemanan kami pun berakhir. <br />
<br />
Gagal mengikuti blognya adalah tanda aku mulai 'melupakan' dia. Membaca blog dengan setia adalah perbuatan yang sangat sepele dan gampang dilakukan. Intinya, kalo itu aja nggak bisa, rasanya aku nggak niat banget mempertahankan pertemanan kami. Jadi mulai hari ini aku mau mencoba lagi. Aku mau mencoba jadi temen yang nggak pelupa dan yang gampang kena fenomena <i>out of sight, out of mind</i>.<br />
<br />
Tentu saja, nggak semua orang ingin mempertahankan hubungan. Baru-baru ini aku juga mencoba untuk <i>reach out</i> pada seseorang yang sudah nggak kontak denganku sama sekali selama lebih dari lima tahun. Seorang teman, dan, yah... sesuatu yang lebih. Mungkin itu alasannya dia tidak tertarik untuk berteman lagi. Yang membuatku merasa sedikit konyol, sudah lama aku berniat melakukan ini dan membayangkan kami bisa berteman lagi dan menghapuskan semua peristiwa nggak enak yang mungkin pernah terjadi gara-gara emosi dulu. Aku sudah membayangkan semua pasti bisa kembali menyenangkan lagi kalau saja aku mau <i>reach out</i> lebih dulu, karena dulu memang aku juga yang <i>shut him out</i>. <br />
<br />
Tapi aku konyol karena sama sekali nggak menyangka mungkin saja dia tidak tertarik melakukan hal yang sama. Lagi-lagi aku jatuh karena <i>pride</i>, karena bahkan kemungkinan bahwa seseorang segitu nggak niatnya ngomong sama aku pun nggak terlintas di pikiranku sekali pun. Mungkin dia menganut prinsip; yang lalu biarlah berlalu. Dan karena toh kami sudah putus kontak segitu lama, buat apa kontak lagi? Buat apa <i>catch up</i>? Buat apa saling bertanya kabar dan berbasa-basi? Kami sudah jadi orang yang sangat berbeda. Apa gunanya?<br />
<br />
Bukannya aku nggak pernah mengabaikan pertanyaan apa kabar basa-basi dari teman lama. <i>I'm guilty of that too</i>. Tapi itu teman yang memang nggak pernah akrab denganku dan, jujur saja, itu sama rasanya dengan orang-orang yang hampir nggak pernah kuajak ngobrol yang meng-<i>add</i>-ku di Facebook hanya karena kami pernah sekelas. Bukan orang yang pernah punya <i>history</i> denganku. Yang ingin kulakukan dengan mencoba mengontak dia kembali hanyalah untuk mencoba berteman lagi. Sama sekali nggak ada niat untuk mengulang kembali apa yang sudah terjadi dan terbukti nggak berhasil, kok. <i>I just wanted to be in good terms with him again. That's all</i>.<br />
<br />
Tapi setelah jawaban yang ditunggu pun tidak muncul, akhirnya aku mengerti bahwa untuknya, sudah nggak ada alasan bagi kita untuk membicarakan apa pun lagi. Dulu kukira dia bukan tipe orang seperti itu tapi mungkin orang berubah. Atau mungkin ini semua salahku sendiri karena aku yang mendorongnya pergi lebih dulu. Ya sudahlah. Aku tidak terlalu kecewa. <i>Some friends will be lost</i>. Aku hanya berharap aku nggak melakukan kesalahan yang sama dengan teman-temanku yang lainnya yang pernah jadi bagian penting hidupku.<br />
<br />
Mari mulai berhenti <i>take for granted</i> semua orang di sekitar kita.Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-66815866240812948802010-07-01T17:43:00.004+07:002010-07-01T18:08:59.414+07:00Kisah Petualangan Seorang Mahasiswi Sulit Lulus ke Masa LaluMemutuskan untuk meng-<i>update</i> blog ini setelah mendapatkan bahan cerita baru. Apalagi setelah pembicaraan sama Mel tadi sore...<br />
<br />
Mel: Saking sibuknya ngerjain skripsi, blog-ku ampe terlantar.<br />
Aku: Oh ya? *seneng dapet temen senasib* Akhirnya blog-mu terlantar juga!<br />
Mel: Iya, udah DUA HARI sejak aku terakhir nge-<i>post</i>...<br />
Aku: .........................................................<br />
<br />
Hari ini aku berkunjung ke SMA-ku tercinta (perlu ditekankan lagi bahwa ini berbeda dengan waktu aku mengatakan ‘universitasku tercinta’. Yang satu mengandung sarkasme dan yang satu tidak. Coba tebak mana yang tulus dan mana yang sarkastis.) untuk melegalisir ijazah lagi untuk universitasku tercinta yang suka ngerepotin orang dengan masalah nggak penting (jelas-jelas ijazah udah dikasi dari zaman pendaftaran dulu.. emang mau diapain lagi sih?) sebagai persyaratan sidang skripsi.<br />
<br />
Oh, ya! Mahasiswi yang nggak lulus-lulus ini akhirnya sudah akan sidang skripsi! Hore!<br />
<br />
Statusnya hari ini adalah: H-8 menuju deadline skripsi. <br />
Berapa kali aku pernah belajar/mengerjakan apa pun yang berhubungan dengan tugas sekolah/kuliah sampai jam tiga pagi sepanjang hidupku: 0 (NOL)<br />
<br />
... sampai KEMARIN MALAM.<br />
<br />
Minggu neraka sudah dimulai. <br />
<br />
(Well, setidaknya ini dimulai seminggu sebelumnya, bukan sehari sebelumnya seperti seorang mahasiswi nggak lulus-lulus lain yang kita kenal waktu mengerjakan KP-nya… *lirik-lirik blog sebelah*)<br />
<br />
Oke. Kembali ke kunjungan ke SMA-ku tercinta. Berhubung ini udah masa libur, maka nggak seorang pun anak SMA imut-imut yang pake seragam terlihat di sekolah. Yang ada malah tukang-tukang bangunan yang sepertinya sedang merenovasi bangunan sekolahku… LAGI. Kayak belom cukup aja aku nggak ngenalin tuh tempat lagi.<br />
<br />
Pos satpam tempat aku biasa turun udah nggak ada. Jadi aku masuk dari satu-satunya pintu terdekat yang terlihat. <br />
<br />
Di depan pintu ketemu salah satu mantan guru BP-ku. Dia masih inget aku *senang* Aku juga inget dia, dibuktikan dengan bagaimana otakku langsung menyuplai namanya dengan mudah. Aku menjelaskan tujuan kedatanganku dan segera melanjutkan misiku.<br />
<br />
Masuk ke dalem… tengak-tengok. Kantor TU di mana yah? Apakah ruangan berbentuk kantor guru yang penuh orang itu? Celingak-celinguk, ruangan ini enggak ada papan namanya! Sungguh nggak membantu. Insting mengatakan di atas, jadi aku naik ke lantai 2, yang adalah tempat ruang guru & TU semasa aku sekolah dulu… lima tahun yang lalu.<br />
<br />
Dan berhubung semuanya udah berubah, tentu saja kantor-kantor itu udah nggak di tempatnya semula. Yang ada lab-lab keren praktikum yang modern yang dulu kami nggak pernah punya.<br />
<br />
Sh!t. Aku bener-bener kesasar.<br />
<br />
Turun lagi dan celingak-celinguk kayak anak ilang. <br />
<br />
Lewat lagi di depan ruang berbentuk kantor guru yang penuh orang itu dan kali ini berpapasan dengan mantan guru SD-ku. Dia juga masih inget aku (Astaga, kok aku bisa nempel banget di ingetan guru-guru ini padahal aku udah ansos dari dulu), terus dia langsung nodong nanya apa aku masih inget dia. Kubilang inget, dan untungnya aku emang inget. Masih nggak yakin, dia nanya siapa namanya. Dengan PD aku langsung menyebutkannya. Terima kasih, otak dan memori jangka panjang yang baik! (Untung aku gak ketemu beberapa guru yang aku MEMANG lupa namanya, yang sempat kuceritakan di kunjungan terakhirku ke SMA ini… Ga enak banget kan kalo harus bilang, “Er… anu, Bu, saya inget muka Ibu, tapi nama Ibu siapa ya?”)<br />
<br />
Akhirnya, dengan bijaksana memutuskan untuk bertanya ke orang yang paling aman untuk ditanyai: Pak Satpam! Untungnya dia ada di deket pintu. (Begitu juga dengan mantan guru BP-ku, tapi kok nggak enak ya rasanya nanyain sama dia ruang TU di mana serasa bukan mantan murid situ…) Pak Satpam tua yang baik itu pun memberi petunjuk bahwa ruang TU ada di lantai 3.<br />
<br />
Naik-naiklah aku ke puncak gunung dan teringat betapa melelahkannya dulu mendaki tangga setiap hari itu. Di depan sebuah ruangan ada seorang ibu-ibu dan anaknya lagi duduk. Kusimpulkan bahwa ini ruang TU. Aku mengintip ke dalam dan bilang permisi sama ibu-ibu TU yang sumpah-aku-ga-pernah-tau-namanya-padahal-dulu-sering-nemenin-Tama-beli-kertas-ulangan-sama-dia… dan menjelaskan maksud kedatanganku. Katanya, suruh tinggal aja ijazahnya. Terus dia bilang, “Kok cuma selembar? Tanggung amat, daripada bolak-balik fotokopi aja dulu lima lembar gitu.”<br />
<br />
Hoe. Oke deh… Aku bertanya apa di sekitar situ ada tempat fotokopi. (Dulu ada, tapi sekarang SUSAH BANGET menemukan apa pun lagi.) Dia bilang ada di bawah. BAWAH. Bawah… dengan yakin ga butuh petunjuk lebih lanjut, aku dengan sok tau pergi ke bawah.<br />
<br />
Ga ketemu, tentu saja. Aku inget di mana tempat fotokopi itu berada lima tahun yang lalu, tapi akibat renovasi total, aku nggak bisa mengenali apa-apa lagi. Aku mencoba membayangkan letak tempat fotokopi itu dulu dan di mana dia bakal berada sekarang… dan gagal. (Aku memang lemah dalam hal persepsi ruang.) Lagian, kayanya nggak mungkin deh tuh tempat fotokopi masih ada di sana kalo semua tempat di sekitarnya udah digusur. (Atau lebih tepatnya, DITEMBOK.)<br />
<br />
Terpaksa aku bertanya pada Pak Satpam yang baik lagi. Eh, dia malah bilang suru pergi ke tempat fotokopi yang di luar. Yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki tapi agak jauh. Aku akhirnya menyuruh supirku ke sana, tapi dia dengan baik hati menawarkan diri untuk jalan kaki ke sana. Oke deh. Aku pun menunggu di dalam mobil yang ber-AC seperti Princess yang baik.<br />
<br />
Tak lama kemudian dia kembali dengan lima kopi ijazahku. Aku pun kembali ke TU. Bertanya-tanya apa ada yang sudah mulai curiga dari tadi anak aneh yang bukan penduduk sekolah ini mondar-mandir gak jelas mau ngapain. Sampai di TU, ibu-ibu TU sudah nggak ada. Yang ada bapak-bapak TU (aku tahu, AKU TAHU, aku payah banget dalam mengingat nama orang-orang administrasi) yang lagi telpon. Aku memutuskan menunggu di depan pintu yang sedikit terbuka.<br />
<br />
Telponnya gak kelar-kelar.<br />
<br />
Ibu-ibu yang bawa anaknya itu masih dengan sabar menunggu (kayaknya menunggu Kepala Sekolah yang lagi MIA). Dia menangkap mataku terus senyum. Aku otomatis senyumin balik, walaupun otak udah berteriak-teriak panik, “Um. Ada apa ini? Aku gak kenal dia. Aku gak kenal dia kan??” <br />
<br />
Telponnya masih gak kelar-kelar.<br />
<br />
Setelah sekitar lima menit, memutuskan untuk duduk di sebelah sang ibu, yang ternyata emang orangtua murid dan aku gak kenal (maklum, aku nggak terbiasa ngasih senyum ke orang tak dikenal. Kepanikan tadi murni disebabkan oleh betapa ansosnya saya…). Kenapa aku bisa tahu? Karena dia nanya, “Mau masuk ya?”<br />
<br />
Aku berpikir: Maksudnya mau masuk TU atau masuk SMA sini? Dua hal yang sangat berbeda. Yang satu jawabannya ya, yang satu jawabannya tidak.<br />
<br />
Akhirnya memutuskan untuk mengklarifikasi kedua pertanyaan sekaligus dengan bilang bahwa aku mau legalisir ijazah. Dia bilang, “Oh… kirain baru mau masuk sini.”<br />
<br />
Um. Oke deh. Se-absurd apa pun itu, aku senang karena tampangku masih pantes dikira anak lulusan SMP yang baru mau masuk SMA.<br />
<br />
Si ibu-ibu kemudian menginterogasiku, nanyain kuliah di mana lah, jurusan apa lah, IMC itu ngapain lah (SERIUS DEH, itu selalu hal pertama yang ditanyakan semua orang. Pembicaraannya selalu berjalan seperti ini… Orang: Kamu ambil jurusan apa? Aku: Komunikasi. Orang: Ada pembagian lagi? Konsentrasinya apa? Aku: IMC/Marketing Communication. Orang: Marketing Communication itu apa ya/ngapain aja ya? Aku: *menjelaskan untuk keseribu kalinya, dan setiap kali masih merasa nggak yakin aku sendiri ngerti* Biasanya kalo males aku cuma bilang, “Oh, itu advertising.” Dan aku nyaris bisa merasakan tatapan tajam dosen tercinta Mel kalo dia ampe denger penjelasan ngaco ini…)<br />
<br />
Begitulah pembicaraan itu berlanjut. Bukannya nanyain soal bagus nggak SMA-ku itu, dia malah nanyain soal kuliahku. Jangan sampe dia berniat masukin anaknya ke universitasku tercinta… Oh tidak, jangan-jangan aku telah nggak sengaja menjerat mangsa baru! Seharusnya dia tanya-tanya soal SMA-ku aja, dong! Kan anaknya mau masuk SMA? Aku akan dengan senang hati mempromosikan SMA-ku dan bilang bahwa hari-hari terindahku kuhabiskan di sana… (walaupun sekarang kurikulum dan segalanya udah berubah drastis dan pendapatku pasti nggak valid lagi. Aduh. Aku baru saja memakai kata valid. SKRIPSI SIALAN!)<br />
<br />
Ada satu titik di mana aku butuh waktu beberapa detik untuk menjawabnya.<br />
<br />
Ibu-ibu itu: Komunikasi itu berapa tahun ya?<br />
Aku: ………… Empat tahun.<br />
<br />
SECARA TEKNIS, aku gak bohong. Kuliah komunikasi yang normal emang cuma empat tahun, tiga setengah malah kalo anaknya rajin mampus. Lima tahun itu kan cuma aku. Jadi bener kan jawabanku? Kan dia nanyanya kuliah komunikasi berapa tahun. Bukan kuliahku berapa tahun…<br />
<br />
Tapi aku jadi khawatir kebohonganku ketahuan waktu dia nanya lagi,<br />
<br />
Ibu-ibu itu: Kamu lulus dari sini tahun berapa?<br />
Aku: …………… 2005. *membayangkan otaknya bekerja menghitung-hitung ini sudah tahun berapa… di mana kibulanku tadi bakal langsung ketahuan. Untungnya, kalau dia menyadari keanehan itu, dia nggak nanya lagi. Syukurlah…*<br />
<br />
Sementara itu,<br />
<br />
TELPONNYA MASIH GAK KELAR-KELAR.<br />
<br />
Terus ada bapak-bapak dateng, di mana aku bertanya-tanya apa ini Kepala Sekolahnya yang sekarang (bukan, ternyata), dan begitu dia masuk TU, berapa detik kemudian bapak-bapak TU selese nelpon dan melayani dia! ARGH! Aku mulai gak tahan duduk di situ. Aku harus cepet-cepet ke kampus. <br />
<br />
Mana panas mampus lagi. Entah global warming atau apa, tapi aku nggak inget udaranya sepanas itu di luar kelas dulu waktu aku sekolah di sana. Kayaknya dulu teduh deh. Tapi tadi pagi bener-bener serasa di oven.<br />
<br />
Apa karena itu di lantai tiga yah? Padahal ruangan-ruangannya udah dimundurin lagi dan makin jauh dari balkon terbuka daripada waktu aku di sana dulu… Sungguh aneh.<br />
<br />
Akhirnya memutuskan untuk memotong pembicaraan bapak-bapak TU dan bapak-bapak tak dikenal karena aku kan cuma mau naro ijazah doang. Si ibu-ibu dan anaknya tenang banget serasa di ruangan ber-AC, tapi aku udah nggak tahan. Jadi aku pun berdiri dan mengintip ruang TU lagi…<br />
<br />
Dan dengan keajaiban (atau entah karena melihat aku yang dari tadi nungguin mo masuk), si bapak-bapak tak dikenal tiba-tiba pamit pada bapak-bapak TU dan pergi pas aku sampai di depan pintu. SYUKURLAH! Aku pun meninggalkan ijazahku, walaupun gak jelas kapan bisa diambilnya (kalo hari itu Kepseknya dateng baru besok bisa diambil… Apakah sang Kepsek sedang liburan juga?).<br />
<br />
Aku pun pamit pada si ibu-ibu orangtua murid dan cepat-cepat kabur dari situ. Turun tangga satu lantai, dengan bodohnya langsung belok kiri ke arah luar… dan menyadari bahwa INI KAYAKNYA BUKAN JALAN KELUAR YANG TADI DEH. Aku menemukan diriku di depan aula olahraga, di mana dulu V pernah ngumpet waktu telat masuk kelas Ekonometri gara-gara semua anak yang telat wajib joget di depan kelas. Dengan bodoh menyadari bahwa aku masih di lantai dua, bukan lantai satu.<br />
<br />
ARGH! Kesasar di SMA sendiri, nggak lucu banget. Merasa bodoh, turun tangga lagi dan AKHIRNYA keluar dengan selamat.<br />
<br />
Hari Senin kayaknya baru aku niat balik ke sana. Daripada Jumat dateng tapi ternyata belom ditandatangan…<br />
<br />
Doakan petualanganku ke sana waktu mengambil ijazah yang udah dilegalisir nggak begitu penuh halangan dan rintangan seperti hari ini, ya! (Dan supaya aku nggak kebetulan bertemu guru yang aku lupa namanya… terus juga supaya aku lebih nyadar arah dan bisa mengingat jalan dengan betul.)Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-20173950560619409352010-04-15T23:24:00.000+07:002010-04-15T23:24:59.951+07:00Jung Personality Type TestUdah pernah dites dulu, tapi belom pernah disimpen. Kayanya blog tempat yang bagus untuk naro ini...<br />
<br />
<b>ISFJ Profile (Introverted Sensing Feeling Judging) Analysis</b><br />
<br />
ISFJs are characterized above all by their desire to serve others, their "need to be needed." In extreme cases, this need is so strong that standard give-and-take relationships are deeply unsatisfying to them; however, most ISFJs find more than enough with which to occupy themselves within the framework of a normal life. (Since ISFJs, like all SJs, are very much bound by the prevailing social conventions, their form of "service" is likely to exclude any elements of moral or political controversy; they specialize in the local, the personal, and the practical.)<br />
<br />
ISFJs are often unappreciated, at work, home, and play. Ironically, because they prove over and over that they can be relied on for their loyalty and unstinting, high-quality work, those around them often take them for granted--even take advantage of them. Admittedly, the problem is sometimes aggravated by the ISFJs themselves; for instance, they are notoriously bad at delegating ("If you want it done right, do it yourself"). And although they're hurt by being treated like doormats, they are often unwilling to toot their own horns about their accomplishments because they feel that although they deserve more credit than they're getting, it's somehow wrong to want any sort of reward for doing work (which is supposed to be a virtue in itself). (And as low-profile Is, their actions don't call attention to themselves as with charismatic Es.) Because of all of this, ISFJs are often overworked, and as a result may suffer from psychosomatic illnesses.<br />
<br />
In the workplace, ISFJs are methodical and accurate workers, often with very good memories and unexpected analytic abilities; they are also good with people in small-group or one-on-one situations because of their patient and genuinely sympathetic approach to dealing with others. ISFJs make pleasant and reliable co-workers and exemplary employees, but tend to be harried and uncomfortable in supervisory roles. They are capable of forming strong loyalties, but these are personal rather than institutional loyalties; if someone they've bonded with in this way leaves the company, the ISFJ will leave with them, if given the option. Traditional careers for an ISFJ include: teaching, social work, most religious work, nursing, medicine (general practice only), clerical and and secretarial work of any kind, and some kinds of administrative careers.<br />
<br />
While their work ethic is high on the ISFJ priority list, their families are the centers of their lives. ISFJs are extremely warm and demonstrative within the family circle--and often possessive of their loved ones, as well. When these include Es who want to socialize with the rest of the world, or self-contained ITs, the ISFJ must learn to adjust to these behaviors and not interpret them as rejection. Being SJs, they place a strong emphasis on conventional behavior (although, unlike STJs, they are usually as concerned with being "nice" as with strict propriety); if any of their nearest and dearest depart from the straight-and-narrow, it causes the ISFJ major embarrassment: the closer the relationship and the more public the act, the more intense the embarrassment (a fact which many of their teenage children take gleeful advantage of). Over time, however, ISFJs usually mellow, and learn to regard the culprits as harmless eccentrics :-). Needless to say, ISFJs take infinite trouble over meals, gifts, celebrations, etc., for their loved ones--although strong Js may tend to focus more on what the recipient should want rather than what they do want.<br />
<br />
Like most Is, ISFJs have a few, close friends. They are extremely loyal to these, and are ready to provide emotional and practical support at a moment's notice. (However, like most Fs they hate confrontation; if you get into a fight, don't expect them to jump in after you. You can count on them, however, run and get the nearest authority figure.) Unlike with EPs, the older the friendship is, the more an ISFJ will value it. One ISFJ trait that is easily misunderstood by those who haven't known them long is that they are often unable to either hide or articulate any distress they may be feeling. For instance, an ISFJ child may be reproved for "sulking," the actual cause of which is a combination of physical illness plus misguided "good manners." An adult ISFJ may drive a (later ashamed) friend or SO into a fit of temper over the ISFJ's unexplained moodiness, only afterwards to explain about a death in the family they "didn't want to burden anyone with." Those close to ISFJs should learn to watch for the warning signs in these situations and take the initiative themselves to uncover the problem. <br />
<br />
<u>Famous ISFJs</u>:<br />
St. Teresa of Avila (Teresa de Jesus)<br />
Louisa May Alcott<br />
Alfred, Lord Tennyson<br />
Queen Elizabeth II of England<br />
Robert E. Lee<br />
Queen Mary I ("Bloody Mary") of England <br />
<br />
<b>Guardian Portrait of the Protector (IFSJ)</b><br />
<br />
We are lucky that Protectors make up as much as ten percent the population, because their primary interest is in the safety and security of those they care about - their family, their circle of friends, their students, their patients, their boss, their fellow-workers, or their employees. Protectors have an extraordinary sense of loyalty and responsibility in their makeup, and seem fulfilled in the degree they can shield others from the dirt and dangers of the world. Speculating and experimenting do not intrigue Protectors, who prefer to make do with time-honored and time-tested products and procedures rather than change to new. At work Protectors are seldom happy in situations where the rules are constantly changing, or where long-established ways of doing things are not respected. For their part, Protectors value tradition, both in the culture and in their family. Protectors believe deeply in the stability of social ranking conferred by birth, titles, offices, and credentials. And they cherish family history and enjoy caring for family property, from houses to heirlooms.<br />
<br />
Wanting to be of service to others, Protectors find great satisfaction in assisting the downtrodden, and can deal with disability and neediness in others better than any other type. They are not as outgoing and talkative as the Provider Guardians [ESFJs], and their shyness is often misjudged as stiffness, even coldness, when in truth Protectors are warm-hearted and sympathetic, giving happily of themselves to those in need.<br />
<br />
Their reserve ought really to be seen as an expression of their sincerity and seriousness of purpose. The most diligent of all the types, Protectors are willing to work long, hard hours quietly doing all the thankless jobs that others manage to avoid. Protectors are quite happy working alone; in fact, in positions of authority they may try to do everything themselves rather than direct others to get the job done. Thoroughness and frugality are also virtues for them. When Protectors undertake a task, they will complete it if humanly possible. They also know better than any other type the value of a dollar, and they abhor the squandering or misuse of money. To save, to put something aside against an unpredictable future, to prepare for emergencies-these are actions near and dear to the Protector's heart. For all these reasons, Protectors are frequently overworked, just as they are frequently misunderstood and undervalued. Their contributions, and also their economies, are often taken for granted, and they rarely get the gratitude they deserve.<br />
<br />
Mother Teresa, George H.W. Bush, Jimmy Stewart, and Tsar Nicholas II are examples of Protector Guardian style.Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-70154920833470817162010-03-19T12:43:00.000+07:002010-03-19T12:43:45.998+07:00Cerita Dari Singapura.. Sekitar Sebulan Yang LaluHmm.. hmm.. Mulai banyak debu lagi nih. Mulai banyak sindiran-sindiran dari Mel baik di <i>shoutbox</i> maupun <i>entry-entry</i>nya. Aku jadi ga enak disebut-sebut terus, promosi gratisnya sering banget sih. <br />
<br />
Udah lama kepikir pengen <i>update</i> soal ke Singapur kemaren. Kok kayanya kalo ke sana, kerjaannya itu-itu aja yah. Dengan perkecualian kunjungan bisnis dan segala macem urusan orangtuaku, aku kayanya cuma punya sedikit tujuan tertentu:<br />
<br />
- Makan Hainan Chicken Rice di Food Republic (namanya General something gitu deh.. itu udah terjamin enak) atau di lantai paling atasnya Far East Plaza (sama enaknya, mungkin lebih enak)<br />
- Nyari es krim potong yang dijual di sepanjang jalan Orchard di gerobak-gerobak dan dimakannya pake wafer, rasanya juga udah selalu sama: Mocha Chip (yang paling enak)<br />
- Mengunjungi trio toko buku utama yang sudah menjadi tujuan pasti: Sunny Bookshop di Far East Plaza (toko <i>second-hand books</i>, bisa <i>rental</i> pula, murah), Borders di Wheelock Place, dan Kinokuniya di Takashimaya (super besar dan terlengkap dari semuanya!)<br />
<br />
Hmm... hmm. Apa lagi ya? <br />
<br />
Selain itu sih nemenin yang lain <i>shopping</i> ke mana saja. Tujuanku kayaknya cuma tiga itu aja. Agak menyedihkan memang, tapi karena udah keseringan ke sana jadi gak tau mau ngapain lagi. Aku sih ke sana cuma untuk me-<i>restock</i> koleksi buku-buku imporku aja, soalnya di sini gak ada toko buku impor yang jual buku-buku sebanyak itu, apalagi yang baru-baru. Mengingat sekarang aku udah jadi pembaca eksklusif buku-buku impor, akhirnya kami ke sana setiap beberapa kali setahun, walaupun tumpukan buku-bukuku yang belom dibaca tampaknya ga menyusut-menyusut walaupun udah berbulan-bulan gak pergi. Kayaknya aku beli buku jauh lebih cepet daripada kemampuanku membacanya. Laper mata terus nih.<br />
<br />
Udah gitu sekarang udah sukses belanja di Amazon.com, jadi ketagihan belanja di sana terus. Hiks! Kartu kreditku yang malang! Cuma yang nyebelin ya ongkos kirimnya yang gak kira-kira itu... Kapan ya ada cabang Amazon.com di Indonesia? Kalo udah ada, aku jadi orang terbahagia sedunia deh, bisa <i>shopping</i> buku dari rumah tanpa biaya tambahan yang banyak.<br />
<br />
Wow, ngelanturnya jauh banget. Satu hal lagi yang mau kuceritain adalah sesuatu yang membuka aib keluargaku....<br />
<br />
....<br />
<br />
Yaitu, ternyata mamaku sama kleptonya dengan tanteku!!<br />
<br />
(Itu loh, yang nyolong penjepit jahe di Sushi Tei di <i>entry</i> kapan itu, dan yang pengen bawa pulang botol Equil ijo cantik itu)<br />
<br />
Mungkin malah mamaku sumbernya. Mungkin kedua kakak beradik ini saling mengajari satu sama lain!<br />
<br />
Dan kemaren aku dipaksa menjadi kaki tangan proses klepto ini T_T<br />
<br />
Dari sejak aku kecil, mamaku udah senang ngambilin perabotan makan yang ada di pesawat. Dan mengingat kami sering banget naik pesawat, koleksi kita udah nggak kira-kira. Semua sendok, garpu, tempat puding bahkan tempat sambel di rumah berasal dari pesawat. Bahkan mungkin ada yang punya logo Garuda Indonesia segala. Biasanya aku cuma geleng-geleng melihat perbuatan ilegal ini.<br />
<br />
Tapi kemaren, berhubung aku yang duduk di pojokan deket tas, aku dipaksa menjadi kaki tangan penyelundup barang-barang tersebut! Dengan sangat merasa berdosa akhirnya aku menerima sendok-sendok garpu itu dan menyelipkannya ke tas kami! Jadi sekarang aku sudah secara resmi menjadi bagian dari Operasi Penyelundupan/Kleptomania Perabotan Makan dari Pesawat. Ugh! Wahai para maskapai penerbangan, ampunilah kami sebab mamaku tidak tahu apa yang ia perbuat!Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-33101639582028308332010-01-20T23:26:00.000+07:002010-01-20T23:26:06.376+07:00Negeriku Sayang, Negeriku Malang...Udah ngeliat sinetron <i>rip-off </i>Avatar yang baru diputer itu? Aku udah denger beritanya dari Twitter beberapa hari lalu (karena aku nggak pernah nonton <i>channel </i>lokal dalam sekitar lima tahun terakhir, dan INI adalah persis sebabnya kenapa aku ogah nyentuh TV lokal lagi) tapi baru hari ini dapet <i>link </i>yang lengkap dengan judul dan sinopsisnya. Udah bukan sedih lagi ngeliatnya, tapi bener-bener malu sama negara sendiri. Aku sama sekali nggak ngerti apa yang ada di pikiran orang-orang yang produksi dan maen di film itu. Kok artisnya juga mau sih mempermalukan diri sendiri habis-habisan sebagai penjiplak seperti itu? Apa mereka nggak punya harga diri? Apa mereka kira karena Avatar sukses besar, maka mereka tinggal bikin tiruan nggak berkelas dengan <i>budget </i>super kecil dan efek nggak mutu lalu otomatis mereka bisa meraup keuntungan besar instan juga? <br />
<br />
Astaga, betapa sederhananya cara berpikir orang-orang di dunia perfilman kita. Aku jadi agak prihatin apa sebagian besar dari kita masih punya cara pikir yang terbelakang seperti itu. Bukannya terinspirasi untuk bikin sesuatu yang orisinil dan sama kerennya, mereka malah memilih jalan yang paling gampang: njiplak. Dan mereka bahkan nggak berusaha membuat jalan ceritanya beda sedikit pun! Semuanya persis sama, kecuali bagian manusia mengendalikan Avatar-nya, dan itu pun dijamin cuma karena mereka nggak mampu nampilin teknologi semacam itu. Sedih, sedih, dan malu sekali aku pada negaraku tercinta di saat-saat seperti ini... Memang bisnis jiplak-menjiplak ini udah ada sejak dulu, mulai dari jamannya Meteor Garden dan tiruannya yang aku judulnya udah lupa, pokoknya yang maen si Roger Danuarta itu... terus sinetron Violet yang ngejiplak W.I.T.C.H... sinetron Tergiur (judul macam apa itu?) yang katanya niru-niru Charmed... pokoknya <i>trademark </i>Indonesia adalah tukang ngejiplak deh... yang sangat sangat menyedihkan.<br />
<br />
Yang lebih menggelikan lagi, <a href="http://www.lunarfilm.co.id/sinetron.php?i=104">sinopsisnya</a> aja tata bahasanya jelek banget. Udah gitu ada dua tokoh yang namanya sama bersekongkol, nggak tau sengaja atau emang segitu nggak kreatifnya atau yang nulis entah kenapa bikin kesalahan yang sama berkali-kali. Serius deh, ini bikin kepercayaanku akan dunia perfilman kita hancur. Aku selalu bermimpi pengen jadi <i>script writer </i>suatu hari nanti, tapi kayanya jadi penulis skenario di Indonesia nggak susah-susah banget. Bisa nulis sinopsis yang bisa dimengerti aja udah hebat banget. Bukannya sombong, tapi kalo semua skenario film dan sinetron di negara ini kaya gini sih, aku bisa jadi terkenal dalam sekejap. Dan itulah sebabnya aku selama ini nggak membatasi mimpiku menjadi penulis skenario lokal aja. Jelas, jadi penulis skenario di sini nggak banyak artinya. Bagus juga aku selalu bermimpi jadi <i>screenwriter </i>yang diakui di Hollywood dan bisa memenangkan Oscar untuk naskahku suatu hari.<br />
<br />
Kamu anggap impian itu terlalu tinggi? <i>Well</i>, kata orang, mereka yang berambisi setinggi mungkinlah yang lebih punya kemungkinan sukses. Dan aku jelas berharap bisa jadi penulis skenario yang punya integritas dan harga diri, yang hanya akan mendapat penghargaan atas karya-karya yang orisinil dan pantas dipuji. Para calon penulis skenario Indonesia lainnya, kuharap kalian punya pemikiran yang sama untuk menyelamatkan generasi kita dari reputasi memalukan ini.Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-39633979023504048562010-01-16T23:40:00.002+07:002010-01-20T23:31:37.523+07:00Quote of The DayAtas petunjuk Mel, aku berhasil masukin Shoutbox kembali plus visitor counter. Hore!<br />
<br />
Tidak ada hal menarik yang bisa diceritakan, kecuali kemaren merasa girang waktu akhirnya nemu Rubik's Cube 3x3 di toko [/nerdy moment]. Yep, selama ini aku belom pernah punya dan selalu pengen nyoba maen. Setelah sok nyari-nyari yang ukuran lebih gede tapi nggak ada, memutuskan untuk latihan pake 3x3 dulu. Sampai di rumah, semangat mengacak-acak susunannya. Setelah itu... garuk-garuk kepala karena ternyata ngembaliinnya lebih susah daripada yang dikira. Kata V, untuk <i>solve </i>Rubik's Cube ada rumus matematisnya. Gawat deh, otakku kan gak bisa dipake buat itung-itungan. Setelah itu kami berdua mengangguk-angguk mengerti kenapa Mel bisa menyelesaikan sampe yang 5x5: karena dia dulu anak IPA!<br />
<br />
Soal <i>quote of the day </i>yang disinggung di judul... yap, hari ini tumben-tumbennya mamaku menunjukkan seberapa delusionalnya dia. Jadi kami sedang membicarakan ke mana adek sepupuku bakal kuliah nanti. Ini adalah adek dari sepupu satunya yang sudah duluan mengikuti jejakku kuliah di kampusku tercinta. Dan seperti yang pernah kusinggung sebelumnya, dia juga berniat masuk ke sana, atau ke luar negeri sekalian. Keluarga kami lagi heboh bergosip soal bagaimana mamanya pengen banget anaknya itu masuk universitas bergengsi padahal belom tentu bisa bayar. Katanya, kalo nggak bisa keluar negeri, minimal masuk kampusku tercinta. Lalu, terdengarlah <i>quote </i>yang nggak bisa dipercaya itu...<br />
<br />
Mama: Ya iya, tapi kan [<i>censored </i>(nama universitasku tercinta)] itu kan <i>number one </i>di Indonesia!<br />
<br />
Aku: *terkaget-kaget akan kenyataan bahwa mamaku ternyata juga sudah termakan iklan <i>marketing </i>kampus yang telah berhasil menipu banyak orang itu!*<br />
<br />
Mungkinkah dia sudah membaca hasil survei palsu yang ada di suatu majalah tertentu yang punya relasi dengan kampusku tercinta itu?<br />
<br />
Karena... kampusku? Nomor satu di Indonesia? <br />
<br />
Um, <i>no, Mom, it's just the most expensive</i>.Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-71519036901518684252010-01-12T21:38:00.001+07:002010-01-12T21:41:13.584+07:00How To Be An Active Blogger*Nyolong siasat bikin judul menarik dari Mel biar muncul di search-nya Google*<br />
<br />
Apakah Anda sudah menelantarkan blog Anda selama berbulan-bulan? Apakah dulu Anda seorang blogger yang rajin, tapi sekarang tiba-tiba melihat blog Anda membuat Anda ingin cepat-cepat kabur ke <i>website </i>lain? Apakah pemandangan blog yang sunyi senyap tidak dikunjungi orang cuma membuat Anda makin depresi? Lalu Anda berpikir... bagaimana caranya menjadi blogger yang aktif dan punya banyak pembaca lagi?? Padahal Anda tidak punya bahan menarik untuk ditulis!<br />
<br />
Cara nomor satu paling ampuh untuk mengembalikan <i>mood </i>untuk <i>update</i> (saking <i>mood</i>-nya sampe yang nggak penting macemnya "tadi pagi gue bangun dan ngeliat ada tukang sayur di depan rumah" juga dijadiin bahan) adalah: <b>GANTI LAYOUT ANDA!</b><br />
<br />
Seperti yang bisa Anda sekalian lihat, saya sedang menerapkan nasehat saya sendiri! Untuk meningkatkan <i>mood </i>untuk <i>update, </i>saya telah mencari <i>premade layout </i>(karena males ngutak-ngatik HTML dan CSS satu-satu -> alasan seorang blogger pemalas) untuk blogger dan akhirnya menemukan <i>layout </i>yang imut-imut dan <i>girly </i>ini. Namanya "She's A Lady", dan sekarang tiba-tiba itu pun sudah menjadi nama baru blog ini, dari yang tadinya Double Sided Mirror jadi She's A Lady In Disguise. Bukannya berarti aku menyamar jadi cewek loh, tapi artinya aku ini menyamar menjadi berbagai hal (contoh: menyamar menjadi mahasiswa pintar dan rajin di kampus) setiap hari.<br />
<br />
Cuma karena blogger ternyata udah lama meng-<i>update </i>format<i> template</i>-nya, dan aku baru sadar hari ini padahal kayanya itu <i>update </i>udah bertahun-tahun (ini format untuk <i>posting</i>-nya juga ternyata baru dan baru ku-<i>update </i>jadi ga usah capek-capek ngetik HTML untuk miringin kata atau <i>bold </i>lagi karena udah Rich Text), alhasil aku bingung sesaat oleh semua kecanggihan baru ini. Sampe-sampe di mana biasanya aku bisa ngedit sendiri CSS dari <i>premade layout </i>sesuai preferensiku, sekarang aku nggak berhasil memunculkan tanggal <i>entry </i>tanpa membuatnya keluar dengan <i>font </i>gede-gede mengganggu yang bikin <i>layout</i>-nya nggak imut lagi (<i>default setting</i>-nya emang <i>hidden</i>). Ugh, yang mengganggu sekali, karena dalam blog tanggal <i>entry </i>itu penting. Moga-moga ntar aku bisa utak-utik lagi deh. Nah, munculin tanggal aja nggak bisa, boro-boro ngembaliin <i>shoutbox</i>. Udah nggak berani nyentuh CSS versi barunya sama sekali deh. Ada yang mau bantuin? Sebenernya <i>upgrade </i>ini dalam beberapa hal mempermudah juga sih, hampir sama kaya Google Sites, tinggal geser sana geser sini sama input teks tanpa harus masukin kode-kode dari <i>scratch </i>lagi. Tapi kadang-kadang terlalu canggih bikin pusing juga.<br />
<br />
Yah, mari berharap paling nggak ini bisa mengembalikan <i>mood </i>untuk <i>update</i>! Sejauh ini aku sudah berhasil menulis tiga <i>entry </i>berturut-turut sejak episode kembalinya sang blogger yang sangat dramatis!<br />
<br />
P.S. Kalo mau <i>comment </i>klik gambar balon pink di kanan atas masing-masing <i>entry</i>. Maaf untuk ketiadaan <i>shoutbox </i>sementara yang mengganggu kenyamanan Anda.Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-68346647110113925562010-01-11T01:04:00.003+07:002010-01-11T01:18:18.907+07:00One Small Step For A Girl...Oke, Mel bakal senang melihat <i>update</i> dua <i>entry</i> sekaligus... tapi sepertinya aku lagi <i>mood</i> nge-blog malam ini. Biasa, kalo udah deket-deket semester baru <i>mood swing</i> sangat berperan dan bisa kadang-kadang (seringnya) depresi mendadak. Tapi ini bukan tentang depresi saya kok. Baru nyadar, di shoutbox ternyata ada komentar yang menarik... dari seorang Mina, yang kuharap nggak keberatan disinggung di sini, yang sampai ke sini dari blog Droo. Duh, jadi malu karena blog saya isinya hal-hal nggak penting begini! *ditimpuk massa*<br /><br />Iya, intinya, entah kenapa aku jadi seneng banget ngeliat ada yang mencariku sampai ke sini karena baca buku terjemahanku. Nggak nyangka aja gitu, bisa punya penggemar *ditimpuk lagi karena terlalu narsis* Biarin! Biarkanlah aku merasa terkenal sejenak! Walaupun cuma numpang nama, karena pengarang aslinya adalah Ally Carter. Penerjemah adalah profesi yang sangat rendah hati. Kenapa? Karena walaupun seluruh isi tulisan kami dipublikasikan, nama kami tidak muncul di sampul buku sedikit pun. Hanya tercetak kecil-kecil di halaman pertama di dalam buku, di sebelah kiri, yang mana mungkin cuma sekitar 5% orang (hanya perkiraan kasar, aku belom betul-betul mengadakan survei loh) yang pernah melirik ke sana karena memang nggak ada hal penting di sana kecuali informasi lebih mendetail tentang buku tersebut yang hanya punya fungsi administratif.<br /><br />Dan aku nggak keberatan, karena memang aku nggak pengen jadi terkenal sebagai penerjemah. Mimpiku adalah terkenal menjadi penulis suatu hari nanti, di mana namaku betul-betul tercantum sebagai pengarang asli buku itu, bukannya cuma seseorang yang melakukan alih bahasa dan nggak menyumbangkan idenya sedikit pun, dan nggak punya andil sedikit pun tentang bagus-jeleknya cerita itu. Hari ini pun iseng-iseng aku meng-Google judul-judul buku terjemahanku, dan menemukan bahwa bahkan di beberapa <i>site</i> yang menampilkan informasi mendetail buku selain judul dan pengarang, sampai ke nomor ISBN buku itu plus ukuran dalam centimeternya, nama si penerjemah atau alih bahasa tetap nggak terlihat di mana pun. Dengan cara yang sangat berlawanan, kami ini sangat penting (karena tanpa kami, buku itu nggak bakal pernah ada), dan juga sangat nggak penting. Nggak ada pembeli buku yang beli buku tergantung dari penerjemahnya. Nggak ada pembeli buku yang penasaran siapa yang sudah berjasa mengubah buku yang aslinya berbahasa Inggris itu ke bahasa Indonesia supaya mereka yang nggak bisa bahasa Inggris bisa menikmatinya juga.<br /><br />Dan sekali lagi, aku nggak keberatan. Aku masih nggak mencari ketenaran. Suatu hari nanti, aku masih bermimpi menerbitkan buku karanganku sendiri.<br /><br />.....<br />.....<br />.....<br /><br />Tapi... tetep aja, begitu ketemu <i>review</i> yang menyebut namaku <a href="http://www.elexmedia.co.id/forum/index.php?topic=3381.msg139957">seperti ini</a>, harus menahan diri nggak melompat-lompat girang kayak orang gila. *kabur*<br /><br />Yah, inilah sedikit curahan hati seorang penerjemah.<br /><br />P.S. Coba angkat tangan siapa yang belom pernah coba meng-Google diri sendiri?Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-84908660602454107512010-01-10T23:45:00.002+07:002010-01-10T23:58:04.095+07:00Cardiopulmonary Resuscitation*sapu-sapu debu... usir-usir laba-laba... bersih-bersih blog*<br /><br />Hmm.. masih ada juga ini blog. *ditimpuk massa*<br /><br />Ahaha, yah, di sinilah saya... muncul kembali setelah <i>akhirnya</i> mengunjungi blog baru Mel itu. Awalnya aku cuma mau <i>update</i> untuk bilang, yep, aku membaca <i>entry</i> episode nyaris telat UAS CRM itu, yang kamu berharap aku gak lagi iseng-iseng <i>blogwalking</i> dan meninggalkan komentar aneh di situ. Dan memang aku nggak meninggalkan komentar aneh, karena itu <i>entry</i> udah lama banget, kamu juga mungkin nggak nyadar kalo aku ninggalin komentar (kecuali kamu dapet <i>e-mail notification</i>). Yang pasti, reaksiku terhadap <i>entry</i> tersebut adalah ketawa sepuas-puasnya. Aku nggak bisa membayangkan reaksi (mantan) dosen tercintamu kalo dia sampe baca <i>entry</i> itu (jadi tergoda untuk ngasih <i>link</i>-nya nih)... pasti dia geleng-geleng kepala sambil urut dada. Serius deh, kadang-kadang aku merasa... <i>you're that girl who can get away with anything</i>.<br /><br />Supaya <i>entry</i> ini nggak jadi ajang ngirim surat pribadi buat Mel, mari kita membicarakan nasib blog ini. Oh ya, omong-omong, judul <i>entry</i>-nya bukan karena aku udah masuk sekolah kedokteran ataupun tiba-tiba kepengen jadi dokter. Itu kepanjangan dari CPR yang dicari dengan Google. Maksudnya, mau memberikan napas buatan buat blog yang udah lama banget <i>dying</i> ini. Lagian kata Mel sebagian besar pengunjungnya nyampe ke blog dia dari sini... seaneh apa pun pernyataan itu, aku ini teman yang baik dan (akhirnya) memutuskan untuk membantu sesama <i>blogger</i> (yang ternyata selama ini minta <i>update</i> dengan maksud terselubung!)<br /><br />Tuh kan, jadi surat pribadi lagi. Iya, nasib blog. Ada seseorang yang penasaran ke mana aku menghilang, ke mana aku hijrah menulis blog karena aku cuma bilang "di tempat lain". Yah, sebetulnya tempat lain itu adalah LiveJournal, dan aku juga udah pernah ngasi URL-nya, tapi karena statusnya <i>Friends Only</i>, kalo kalian nggak punya <i>account</i> LJ juga, jadi nggak bisa baca. <i>Entry-entry</i> di sana beda sama di sini. Jauh lebih pribadi dan banyak omongan gak jelas dan gak penting tentang hal-hal sepele sehari-hari. Itulah sebabnya blog yang itu nggak <i>public</i> seperti ini. Anehnya, di sana aku malah nggak pernah menyinggung-nyinggung universitasku tercinta... (mungkin memang lebih enak menyindir sesuatu di tempat yang bisa dilihat publik yah?)<br /><br />Omong-omong soal itu, resolusi tahun ini cuma satu: LULUS. Pokoknya lulus tahun ini atau nggak sama sekali. Aku udah capek sekolah, dan ini bener-bener tahun terakhir aku masih mau bersabar dateng ke kampus secara teratur. Setelah itu, <i>goodbye</i> selamanya, deh! Bener deh, aku yakin pas upacara kelulusan nanti, aku bakal nangis bahagia saking girangnya akhirnya bisa lepas dari situ. Ternyata masuknya gampang banget, keluarnya agak-agak susah...<br /><br />P.S. Teman <i>blogger</i>ku yang setia, setuju banget sama <i>entry</i> kangen masa SMA. Itu betul-betul masa terindah dalam hidup. Memang waktu sekolah dulu hidup rasanya <i>simple</i> dan aman banget ya... *sniff*Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-976738564993448702009-07-24T21:39:00.002+07:002009-07-24T22:15:17.911+07:00Eurotrip!SELAMAT HARI LIBUR!<br /><br />Yah, sebenernya bentar lagi masuk sih, meskipun aku MASIH belum tau tepatnya kapan (halo, ada yang bisa bantuin?), tapi intinya, kemaren selama libur 2 bulan lebih ini, saya sempat berjalan-jalan ke negara tetangga. Itu... gak jauh-jauh kok, di Eropa sana *ditimpuk*<br /><br />Kalo mau diceritain semuanya bisa capek. Jadi kuceritain hal-hal menariknya aja ya? Walaupun mungkin ujung-ujungnya cerita perjalanannya jadi sedikit, ehehe...<br /><br />Keluargaku punya ritual setiap kali kami mau pergi, nggak peduli itu cuma keluar makan, ke luar kota, ataupun ke luar negeri. Prosedurnya begini: beberapa dari kami berkumpul di bawah, siap pergi. Menunggu satu atau dua orang sambil mengerjakan berbagai hal nggak jelas. Satu/dua orang muncul dan bersiap pergi. Yang lain menyelesaikan berbagai hal nggak jelas tadi dan akhirnya melangkah ke luar. Salah satu anggota yang tadi sudah siap tiba-tiba kebelet pipis jadi harus ke kamar mandi lagi. Setelah urusan ini beres, mulai berbondong-bondong keluar lagi. Sampai di garasi, salah satu dari kami bakalan menyadari kalo dompetnya ketinggalan dan masuk lagi. Setelah dia kembali, kami membuat <i>progress</i> sampai masuk mobil di mana paling tidak satu orang lainnya bakal ketinggalan HP dan/atau baru nyadar kalo sandalnya udah mangap dan nggak bisa dipake lagi. Kembalilah mereka ke rumah, dan begitu seterusnya.<br /><br />Jadi untuk berangkat? Kira-kira membutuhkan paling nggak lima belas menit sebelum mobil bisa dengan sukses dijalankan dengan semua anggota keluarga lengkap di dalamnya.<br /><br />Begitu juga dengan waktu pulang dari suatu tempat, tapi ini khusus untuk kunjungan ke anggota keluarga lainnya. Aku dan sepupuku biasa membuat kesepakatan berdasarkan observasi yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun:<br /><br />- Panggilan pertama ("Ayo, ayo, pulang!") harus diabaikan karena itu berarti masih ada sekitar setengah jam lagi sebelum kami betul-betul pergi.<br />- Panggilan kedua ("Ayo dong, ditungguin, nih!") juga dicuekin saja karena itu berarti masih ada sekitar 15 menit lagi sebelum kami berangkat.<br />- Panggilan ketiga yang bersifat mengancam ("Kita TINGGAL loh!") sebaiknya dituruti dengan paling nggak menampakkan diri di dekat pintu keluar, walaupun masih ada sekitar 5-10 menit sisa waktu untuk berbasa-basi dan menyelesaikan pembicaraan nggak jelas.<br />- Panggilan terakhir, akhirnya, barulah merupakan ajakan pulang yang sebenarnya.<br /><br />[/pelajaran mengenai rutinitas keluarga saya selesai]<br /><br />Anehnya, kali ini kami sampai di bandara nggak telat sama sekali, malahan kecepetan. Keajaiban dunia sekali.<br /><br />Oh ya, dalam perjalanan ini, kami semua juga memiliki <i>role</i> masing-masing:<br /><br />1. Mama; seksi PANIK ("Kita TELAT LOH! CEPETAN!" "ADUH orang-orangnya udah pada ILANG nanti kita nyasar nggak tau jalan!" "Gak boleh begini-begitu nanti kalo kita DITANGKEP POLISI di luar negeri GIMANAH?!!!" "PASPOR KITA GAK ADA!!!!!!!") Intinya, dia seksi pemacu jantung deh. Dia juga seksi hiperbolis. Aku punya <i>pattern</i> untuk menginterpretasikan omongan Mama. Kalo dia bilang "SEMUA ORANG udah check in!" nggak perlu panik, kemungkinan besar dia ngawur adalah 80%. Kalo dia bilang "LIMA MENIT lagi harus berangkat!" kemungkinannya masih ada sekitar 15 menit lagi.<br /><br />Kalo dia bilang "ITU ada mesin ATM!"? Kemungkinannya itu adalah mesin penjual makanan kaleng adalah... 100%. (Komentar Papa: "Wah, mesin ATM di luar negeri hebat yah! Lain banget ama yang di Indonesia!")<br /><br />Oh ya, dia juga seksi pengambil foto. Demen banget ambil fotoku khususnya di mana-mana ("CEPETAN FOTO DI SITU!! DI SITU JUGA!!"), padahal, halo, aku SUDAH pernah ke Eropa, seharusnya dia memburu papaku dan kakakku.<br /><br />Terakhir, dia seksi belanja tentunya. (Disimpulkan dengan sempurna oleh komentar Papa berikut ini: "Mama kalo ke objek wisata, langsung foto objeknya sekali dari jauh lalu cepet-cepet ngabisin sisa waktunya belanja suvenir." Aku mengangguk-angguk setuju akan kebijaksanaan pernyataan ini) Termasuk juga waktu di bandara, sementara aku dan Papa ngantuk setengah mati dan nyaris jatoh dari bangku gara-gara ketiduran, Mama sibuk ngoceh soal belanja oleh-oleh. Aku pun bertanya-tanya: "Dari mana sih dia mendapatkan energinya yang nggak abis-abis itu?"<br /><br />2. Papa; seksi menenangkan Mama dan seksi menghindar difoto dan/atau menghalangi foto orang. Ujung-ujungnya kena omel Mama tercinta melulu. Papa yang malang. Seksi paling nggak bisa makan karena dia cinta makanan Indonesia dan ujung-ujungnya ngidam soto melulu. Seksi ahli bahasa Italia ("Let's go eat-O pizza-O! ConcertO ItalianO duO!" Yeah, aku juga nggak ngerti apa yang dibicarakannya... kelihatannya dia yakin apa pun+O = Bahasa Italia)<br /><br />3. Kakakku; seksi difoto. Kayaknya 70% isi kamera kami foto dia semua. DAN dia bawa DUA kamera. Di setiap tempat bakal minta kami semua gantian fotoin dia dalam berbagai pose dan sudut pandang ("Tadi dari sebelah sini udah? Yang ngadep sini? Kalo gitu sekarang yang ngadep sebelah sana!") Pokoknya, empat penjuru harus dapet semua. Capek deh...<br /><br />4. Aku; hmm... aku? Seksi menikmati pemandangan dan males difoto. Hahaha...<br /><br />Yah, intinya sih... aku jenis orang yang lebih suka <i>sightseeing</i> daripada <i>shopping</i>. Waktu kami di Milan, sampai di suatu restoran untuk makan malam, ternyata restorannya masih belom buka gara-gara stafnya masih pada asyik main <i>mahjong</i>. Apa yang grup tur Indonesia ini lakukan? Ngungsi ke toko sebelah yang jualan tas dan...<br /><br />Lima menit kemudian...<br /><br />Ibu-ibu di sana pegang tas, mengomentari bagusnya model tas itu. Anak kecil dari keluarga ibu-dan-2-anak itu nyoba-nyoba tas koper yang katanya buat tas sekolahnya. Ibu-ibu modis yang selalu beli barang mahal memegang tas bermerk dan siap-siap menawar harganya. Bahkan si cowok tipe <i>backpacker</i> yang ikut tur sendirian pun sudah di kasir untuk membayar ransel barunya.<br /><br />Jadi intinya, kami di Milan... restoran yang seharusnya kami kunjungi untuk makan malam belum buka... kami kebetulan, tanpa maksud apa-apa, hal ini nggak termasuk di dalam acara sama sekali, berjalan-jalan ke toko sebelah dan... begitu saja...<br /><br />TIBA-TIBA SEMUA ORANG BUTUH TAS!<br /><br />SUNGGUH AJAIB!<br /><br />Aku, tentu saja, nggak beli apa-apa... tapi mimpi apa si pemilik toko tas itu yah, tiba-tiba tokonya diserbu 22 anggota tur Indonesia yang haus belanja begitu sampai di Milan dan memborong isi tokonya dalam sekejap hanya gara-gara RESTORAN DI SEBELAH BELOM BUKA? Dia betul-betul harus ke sebelah dan menyuruh staf restoran itu lebih sering main <i>mahjong</i> lagi.Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-5434540725250493372009-05-04T20:50:00.002+07:002009-05-04T21:03:25.616+07:00One Last Tribute to Mr. PopcornJudul yang aneh. Hmm.. Kenapa popcorn? Karena garing.<br /><br />Cerita ini lagi-lagi cerita lama yang gagal terus di-<span style="font-style: italic;">posting</span> karena internet mati melulu, dan giliran udah nyala aku sibuk <span style="font-style: italic;">browsing </span>ke tempat laen dan lupa <span style="font-style: italic;">post</span>. Atau nggak aku lagi nggak <span style="font-style: italic;">mood</span>. Akhirnya sekarang sudah memaksa diri untuk mem-<span style="font-style: italic;">posting</span> cerita ga jelas ini...<br /><br />Mengenai seorang dosen yang syukur-syukur nggak bakal kutemui lagi (doakan saya lulus UAS yah!)... Yang udah cukup deh kutemui setiap minggu selama 2 semester...<br /><br />Kita sebut saja dia Mr. Popcorn. Mr. Popcorn lagi-lagi mengatakan hal-hal yang menyebalkan dan patut masuk blog, jadi inilah cerita lengkapnya...<br /><br />Di suatu hari, adalah kelas pengganti menyebalkan yang kuikuti dengan rajinnya sementara Mel bolos seperti biasa. Seperti biasa pula kalo Mel gak ada, terjadi hal-hal menarik di kelas Mr. Popcorn yang patut dimasukin blog.<br /><br />Mr. Popcorn: Untuk mencapai <span style="font-style: italic;">word of mouth</span>, harus nyari seorang <span style="font-style: italic;">talker</span>. Dia ini gak bisa orang yang pendiem, harus yang cerewet...<br />Aku: *merasa tersindir*<br />Mr. Popcorn: Kalo tipe-tipe murid yang datengnya telat... duduk di belakang... diem aja... keluar duluan... itu jelas gak bisa jadi <span style="font-style: italic;">talkers</span>.<br />Aku: *merasa tersindir BANGET* Apa-apaan nih dosen?<br />Mr. Popcorn: Bukannya nyindir lho ya, cuma contoh...<br />Aku: <span style="font-style: italic;">Yeah, right.</span><br /><br />Mr. Popcorn: <span style="font-style: italic;">Logo Lovers </span>artinya orang yang bisa nunjukin logo suatu produk di muka umum untuk mengiklankannya. Kalo untuk kampus kita (seperti biasa, dia selalu menyebut-nyebut kampus kita. Aku sudah lama curiga kalo dia staf-marketing-kampus-garis-miring-sales-kartu-kredit-yang-menyamar-jadi dosen) mungkin... ada nggak ya yang mau make tato logo kampus?<br />Aku: ..........<br /><br />Sampe mati pun aku gak mau deh.<br /><br />Mr. Popcorn: Tapi untuk mengiklankan sesuatu, orangnya harus suka produk itu. Jadi misalnya kalo di kampus kita, mahasiswa yang udah kecewa sama kampus nggak bisa jadi <span style="font-style: italic;">talkers</span>.<br />Aku: *merasa tersindir lagi, tapi... BETUL BANGET!!*<br />Mr. Popcorn: *ngomongin sesuatu yang aku dah ga inget, kucatet sih tapi aku ga ngerti apa hubungannya ini ama iPod Touch meskipun ada tanda panahnya... inilah hasilnya kalo nunggu kelamaan sebelum mendokumentasikan sesuatu* ...jadinya ntar disebut <span style="font-style: italic;">local campus </span>kali ya,<span style="font-style: italic;"> </span>bukan <span style="font-style: italic;">global campus</span>...<br />Aku: *merasa terheran-heran karena tumben dia nyela kampus kami tercinta*<br /><br />Hmm.. cuma itu sih yang kuinget. Gak semenarik waktu aku ada di sana, yah? Barangkali karena udah banyak yang kelupaan. Ahahaha.. tapi intinya kuliah hari itu aku merasa tersindir banget deh. <span style="font-style: italic;">All the more reason never to see Mr. Popcorn ever again!</span>Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-25580053400590460432009-04-15T22:31:00.007+07:002009-04-16T00:43:31.409+07:00Snippets of My Boring Life - Part IIKayanya aku udah semangat mengabarkan adanya <i>update</i> tapi ga ada yang tertarik.. hiks hiks. Kok pada pergi lagi sih?? *seret Mel & Droo* Kalian kan dua orang pembaca <s>paling setia</s> satu-satunya blogku! Kalo kalian pergi, blog ini bakal bener-bener kaya padang gurun dengan angin bertiup menerbangkan dedaunan... tanpa kehidupan sama sekali! *dramatic mode: ON*<br /><br />Ya udah ni dilanjutin ceritanya. Sampe mana yah kemaren? Oya, deskripsi SMU kami tercinta (kalau yang ini dimaksudkan secara harfiah, bukan dengan nada sinis seperti kalo aku bilang "kampus kami tercinta"). Setelah masuk, kami langsung menemukan gerombolan teman-teman yang satu kelas dengan kami waktu kelas 3 dulu. Tama langsung jadi inceran cowok-cowok buat dikerjain seperti biasanya, mengingat dia dulu ketua kelas gak resmi merangkap sekretaris merangkap bendahara merangkap maskot kelas. Pokoknya semua urusan kelas dia yang urus deh. Jadi intinya mereka semua langsung nodong dia dengan gaya preman mau ngeroyok anak tak berdosa:<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tersangka #1</span>: Eh, eh, ada si Tama nih, sini sini cepet kita kerjain! *mendorong Tama ke arah pemimpin/bos para calon preman ini*<br /><span style="font-weight: bold;">Tersangka #2</span>: Tama, dulu gue udah bayar uang kas kelas buat sebulan terus UANG GUE DIKEMANAIN HAH?<br /><span style="font-weight: bold;">Tersangka #3</span>: Tama, sini BELIIN GUE MINUM!<br /><br />Ya dan singkat cerita, Tama stres seketika. Mungkin kalian bertanya-tanya apa yang kami, teman-teman terdekatnya lakukan di saat seperti ini?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Aku: </span>*menepuk pundak Tama* Selamat! Perjalanan kita kembali ke masa SMU sudah resmi lengkap sekarang! Beberapa hal memang gak pernah berubah, ya! *nada ceria penuh kegembiraan*<br /><span style="font-weight: bold;">Tama</span>: ..............<br /><br />Tama itu maskot yang paling disayangi seisi kelas, kok. Walaupun semua anak suka ngerjain dia, itu dilakukan murni dengan penuh cinta. Ah, hari-hari SMU yang indah! *Tama menangis di pojokan*<br /><br />Pertemuan berikutnya adalah dengan guru-guru. Dan di sinilah cerita kita yang sebenarnya akhirnya dimulai!! *suara terompet membahana*<br /><br />Ya jadi ceritanya Miss V kita ini sangat sensitif soal berat badannya. Bukan karena dia gemuk, tapi justru karena dia sangat kurus!! Dan semua orang yang ketemu dia pasti bilang dia kurus banget. Dan dia sudah berusaha makan sebanyak-banyaknya (yang menurutku cara yang agak mengkhawatirkan untuk menggemukkan diri) buat bikin gemuk tapi sampe sekarang ga ada hasilnya. Kalo tanya aku sih, sebaiknya dia menyerah saja karena emang metabolismenya terlalu bagus. *giliran V menangis di pojokan*<br /><br />Kembali ke pertemuan kami dengan guru-guru lama kami tercinta (beberapa dimaksudkan secara harfiah, beberapa... dengan tidak begitu tulus)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Mantan Kepsek SMU kami</span>: Eh, halo semuanya... *cipika-cipiki* Aduh, V, kamu TAMBAH KURUS AJA!<br /><span style="font-weight: bold;">V</span>: ......<br /><span style="font-weight: bold;">Aku</span>: ^^; Sabar ya...<br /><br />Lima menit kemudian kami berjalan-jalan ke lantai dua dan menemukan gerombolan guru lain.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Mantan Guru Ekonomi kami</span>: Halo semuanya... aduh udah lama ya, waduh, V, kamu KURUS BANGET SIH?<br /><span style="font-weight: bold;">V</span>: ....<br /><span style="font-weight: bold;">Aku</span>: ^^;;;;<br /><span style="font-weight: bold;">Mantan Guru Kimia kami</span>: Ini si *menyebutkan nama kami satu-per satu dengan hebatnya masih inget* kan? Dan ini, V, ya ampun kamu MASIH KURUS BANGET!<br /><span style="font-weight: bold;">V</span>: ...............<br /><span style="font-weight: bold;">Aku</span>: ^^;;;;;;;;;;;;<br /><br />Setelah berkeliling mengintip tiap kelas dan mencoba mengidentifikasi tiap guru yang ada di sana (dalam beberapa kasus dengan sangat tidak sukses), beberapa dialog yang terjadi misalnya:<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tama</span>: Itu siapa ya?<br /><span style="font-weight: bold;">V</span>: Guru... bahasa Indonesia kan?<br /><span style="font-weight: bold;">Aku</span>: Bukannya Bahasa Inggris?<br /><span style="font-weight: bold;">Tama</span>: Aduh... inget sih mukanya tapi masa sih? Kayanya bukan deh...<br /><span style="font-weight: bold;">V</span>: Miss A bukan?<br /><span style="font-weight: bold;">Aku</span>: Iya kali?<br /><span style="font-weight: bold;">Tama</span>: Bukaaan! Ini kayanya lain lagi deh!<br /><br />Akhirnya kami tetap tidak tahu siapa guru misterius itu sampe sekarang. Lalu...<br /><br /><span style="font-weight: bold;">V</span>: Itu Pak J, kan?<br /><span style="font-weight: bold;">Aku</span>: *otomatis terbayang Pak J yang di kampus* Er... *bengong sejenak, memutar memori sampai mendapatkan imej yang tepat* .....<br /><br />Lima menit kemudian...<br /><span style="font-weight: bold;">Aku</span>: Oh, iya, yang itu! *menengok kanan-kiri, yang laen udah ngilang* Siyal, aku ditinggal.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tama</span>: Itu guru apa yah... IPA...<br /><span style="font-weight: bold;">V</span>: Fisika, kan?<br /><span style="font-weight: bold;">Aku</span>: Iya, iya, bener!<br /><span style="font-weight: bold;">Tama</span>: Namanya, duh...<br /><span style="font-weight: bold;">V</span>: *menyebutkan satu nama yang nggak familiar*<br /><span style="font-weight: bold;">Aku</span>: Iya ya?<br /><span style="font-weight: bold;">Tama</span>: Kayanya ga ada guru bernama kaya gitu deh... -__-;<br /><br />Dan akhirnya...<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Mantan Pengurus TU Kami</span>: Halo, ini K kan? *menyensor nama sendiri*<br /><span style="font-weight: bold;">Aku: </span>Iya.. *seneng karena diinget*<br /><br />Setelah kami berlalu...<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Aku: </span>Ngomong-ngomong, tadi siapa ya?<br /><span style="font-weight: bold;"><br /></span>Aku jadi nggak enak, gara-gara gak inget! Beneran, deh! Padahal dia inget aku! Tapi ternyata dia adalah pengurus TU dan kayanya inget aku gara-gara aku sering nemenin Tama beli kertas ulangan buat anak-anak sekelas (ingat, dia adalah ketua kelas gak resmi merangkap sekretaris merangkap bendahara merangkap maskot kelas).<br /><br />Anehnya, nggak satu pun dari kami berhasil mengingat siapa Kepsek SMP kami. Padahal orangnya baik banget loh. Ibu yang malang itu baru ketahuan identitasnya beberapa minggu lalu waktu aku SMS V lagi karena masih penasaran oleh misteri yang tidak terjawab ini, dan dia akhirnya mendapatkan jawabannya setelah mencari di BUKU TELPON. Agak malang memang nasib ibu ini.<br /><br />Ah, sekolahku tercinta! <i>I miss you so much!</i><br /><br />Dan akhirnya, setelah foto-foto ama artis (baca: mantan teman seangkatan kami yang udah jadi artis), lengkap ama guru-guru kami tercinta dulu, kami pun pulang. Ngomong-ngomong soal artis, ternyata dia kuliah di kampusku tercinta juga? (Bukan, bukan kembaran yang itu. Yang satunya!) Hal ini baru terungkap waktu dia bertanya padaku:<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Mr. Aktor Terkenal: </span>Lo kuliah di mana?<br /><span style="font-weight: bold;">Aku: </span>*menyebutkan nama kampusku tercinta*<br /><span style="font-weight: bold;">Mr. Aktor Terkenal: </span>Loh, sama dong? Lo jurusan apa?<br /><span style="font-weight: bold;">Aku: </span>Komunikasi.<br /><span style="font-weight: bold;">Mr. Aktor Terkenal: </span>Loh, gue juga! Kok gak pernah ketemu??<br /><span style="font-weight: bold;">Aku: </span>???<br /><br />Setauku dia dulu gak kuliah di situ deh. Mel, apa kamu denger gosip dari Valen soal pindahnya Mr. Aktor Terkenal ke jurusan kita? Soalnya aku beneran ga pernah liat dia. Dan omong-omong, aku juga *masih* belum bisa membedakan dia dan kembarannya. (Semua orang: Nggak usah nampakin ekspresi <i>shock</i> yang selalu kalian tunjukkan setiap kali aku bilang ini lagi, deh! Kan udah kubilang aku gak pernah/jarang sekelas ama mereka dan gak pernah punya kesempatan ngebandingin mereka, huh! Aku bisa kok ngebedain anak kembar, dibuktikan dengan kemampuanku membedakan si kembar pinter temen kita anak IPA dulu itu, karena aku pernah sekelas ama dua-duanya secara terpisah dan kalo itu memang keliatan bener bedanya. Kayanya aku perlu kursus ngebedain Mr. Aktor Terkenal dan kembarannya nih) Itulah sebabnya waktu dia bilang dia kuliah di kampusku pertama kupikir dia kembaran satunya (yang memang sudah lama kuliah di sana). Sampe pulang baru aku nyadar kalo dia bukan. *sigh* Memang membingungkan. Jadi sekarang dua-duanya kuliah di sana, dong? Hmm. Ada yang mau minta tanda tangan?<br /><br />Tuh kan, entrinya panjang abis. Coba kalo gak dibuat bersambung?<br /><br />Intinya, setelah itu kami pulang. Tapi tidak sebelum mengucapkan selamat tinggal pada guru-guru kami tercinta. Dan tentunya ada pesan terakhir dari:<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Mantan Kepsek SMU kami</span>: V, kamu banyak-banyak minum susu yah! Biar nggak TERLALU KURUS!<br /><br />Tabah ya, V!Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-25576268481422168352009-04-07T22:39:00.013+07:002009-04-15T23:11:51.376+07:00Snippets of My Boring Life - Part IEr... Halo. *melambai dengan malu-malu*<br /><br />Setelah membaca-baca ulang beberapa <span style="font-style: italic;">entry</span> lama untuk mencari tahu kenapa seorang temen yang baru membaca blog ini bilang cara nulisku beda banget sama di kehidupan nyata, aku jadi kangen sama blog ini. Dan jadi tergoda untuk <span style="font-style: italic;">update</span> lagi. Padahal kupikir udah nggak bakal ada niat macam itu muncul... tapi inspirasi tiba-tiba datang, lebih sebagai tantangan untuk menulis dengan gaya sinis ala <i>Princess Diaries</i> lagi dan membuat kejadian-kejadian biasa jadi lebih lucu daripada kelihatannya. Lagi pula, akhir-akhir ini ada beberapa kejadian lucu yang kayanya sayang untuk nggak didokumentasikan. Jadinya...<br /><br />Setelah berhari-hari berjalan keliling dengan ide meng-<i>update</i> blog ini dan masih merasa takut karena sudah lama nggak nulis dengan gaya begini.. akhirnya hari ini karena betul-betul nggak ada kerjaan (sialan, <i>Pet Society</i> sama <i>Restaurant City</i> dua-duanya lagi <i>down</i>... btw, main <i><a href="http://apps.facebook.com/restaurantcity/">Restaurant City</a></i> dong!! Klik di link-nya untuk <i>sign up</i> segera! Dijamin Anda akan langsung ketagihan! *dilempar bata gara-gara malah promosi*)<br /><br />Plus, aku baru selesai baca buku <span style="font-style: italic;">Princess Diaries </span>terakhir. (Btw, Droo, judulnya <span style="font-style: italic;">Forever Princess.</span> Apa cuma aku yang berpikir Meg Cabot nyolong judul episode terakhir Charmed; <span style="font-style: italic;">Forever Charmed</span>? Karena dia kan sering nyebut-nyebut <span style="font-style: italic;">Charmed </span>di buku-bukunya) Dan aku jadi cukup percaya diri karena biasanya kalo abis baca buku tertentu terus nulis sesuatu, gaya nulisku jadi terpengaruh sama buku yang baru kubaca itu.<br /><br />Jadilah aku duduk di sini...<br /><br />...masuk ke blogger.com dengan deg-degan...<br /><br />bersiap nge-<span style="font-style: italic;">post </span>setelah empat bulan tanpa kabar...<br /><br />...hmm...<br /><br />*ditimpuk pembaca karena terlalu bertele-tele kaya sinetron <span style="font-style: italic;">Tersanjung 9 - </span>atau sekarang sudah sampai 23?*<br /><br />Yah, ini cerita hari Jumat kemaren. Sebenernya tokoh utama cerita ini adalah temenku yang disebut di atas, yang baru baca blog ini. Tenang, aku sudah meminta ijin untuk memasukkannya ke sini dan sudah diijinkan memakai inisialnya. (Pembaca lain protes: "Kok kalo sama kita ga minta izin, main nyebut-nyebut nama aja?" Jawab: Ya gimana ya... soalnya ini masalah yang agak sensitif buat temenku itu. Jadi demi sopan-santun harus minta ijin dulu. Lagian dia kan bukan sesama <span style="font-style: italic;">blogger</span>. Kalo sesama <span style="font-style: italic;">blogger </span>sih, sembarangan sebut-sebut juga ga papa kan, asal di-<span style="font-style: italic;">hyperlink </span>ke blog kalian? *<span style="font-style: italic;">evil laugh</span>* Sudahlah, akui saja. Kalian semua kan doyan promosi/iklan.)<br /><br />Belom mulai-mulai juga ceritanya, ya? Duh, entrinya dah kepanjangan. Entri berikutnya aja apa ya? Ini jadi <span style="font-style: italic;">teaser </span>atau semacam kata pengantar gitu... *dilemparin bata*<br /><br />Ya udah. Sekarang deh. Jadi ceritanya kemaren aku dan teman-temanku main-main ke SMU lama kami yang untuk pertama kalinya dalam sejarah mengadakan pensi. (Sekalian ngambil raport. Di sore-malam hari. Jangan tanya aku siapa yang punya ide aneh itu...) Waktu nyampe di sana, kami semua terbengong-bengong melihat gedung yang sudah sangat berubah drastis sekali itu (perhatikan penggunaan berbagai kata superlatif(?) yang sangat hiperbolis dan ya, <span style="font-style: italic;">perlu</span> untuk menekankan poin saya).<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Aku</span>: Kok udah berubah banget, sih? Aku gak kenal tempat ini lagi!<br /><span style="font-weight: bold;">N</span> (salah satu teman yang juga dilindungi identitasnya - duh kok serasa lagi jadi jurnalis yang memberitakan artikel kriminal aja ya? "Nona N [bukan nama sebenarnya] kemarin ditemukan sebagai tersangka pembunuh dosennya karena terlalu stres akibat tugas akhir yang sedang dikerjakannya" -> bukannya nggak mungkin terjadi sih mengingat kadar stress N belakangan ini gara-gara skripsinya. Astaga. Aku ini punya <span style="font-style: italic;">short attention span </span>banget sih): Iya. Ini kita DI MANA sih??<br /><br />Kami pun melangkah masuk dengan PD ke dalem, dan menemukan lebih banyak perubahan-perubahan lagi. Lantai yang semula pake ubin berkotak-kotak biasa sekarang pake linoleum (? maaf penulis bukan ahli dalam bidang perubinan), tembok-tembok bercat warna terang nan ceria, pintu-pintu yang dulu reyot dari kayu dan suka gak bisa dibuka kalo gagangnya copot (ya iyalah) dan bikin orang gak sengaja kekurung di kelas atau di ruang komputer sekarang pake pintu nan <span style="font-style: italic;">chic </span>yang bahannya lebih bagus dan modelnya minimalis (ada yang warna <span style="font-style: italic;">lime green </span>- warna kesukaanku! - btw) plus ada pula yang pake pintu kaca bak di <span style="font-style: italic;">mall </span>segala. Modern banget deh.<br /><br />Sekarang juga ada <span style="font-style: italic;">locker </span>di tiap kelas (iri banget deh. Dulu kami harus membawa-bawa tas SUPER BERAT setiap hari, tau sendiri kan anak SMA bukunya banyak banget [buku cetak+buku PS+catetan+buku PR, belom lagi kalo ada LKS dan segala macemnya], sebelum kami punya meja berlaci di SMA dan memutuskan dengan pintarnya untuk memindahkan semua buku kami ke sana dan akhirnya setiap hari nyaris ga perlu bawa apa-apa ke sekolah), walaupun di sampingnya masih ada rak buat naro botol minum [khusus bagian SD(?)] yang menimbulkan nostalgia... terus sistemnya juga udah berubah.<br /><br />Gak ada lagi <span style="font-style: italic;">stay </span>di satu kelas sepanjang tahun, sekarang modelnya internasional jadi tiap pelajaran pindah kelas. Duh, gak enak banget... gak ada lagi dong kelas-kelas yang kompak dan asyik kaya jamanku dulu. Kalo kuliah pindah-pindah kelas sih gak papa, tapi kalo sekolah... dulu aku selalu benci sistem itu terutama kalo pisah kelas sama temen-temenku (yang kayanya selalu terjadi padaku) tapi setelah kupikir-pikir lagi, sistem itu bener-bener khas sekolah banget dan sayang kalo ditinggalin. Gara-gara itulah kelasku jadi kompak banget dan sampe sekarang pun masih terus <span style="font-style: italic;">contact </span>anak-anaknya...<br /><br />Tama <s>si kucing petualang</s> si calon koki hebat (juga bukan nama sebenarnya. Nama panggilan ini muncul gara-gara pada jaman dahulu namanya ditulis salah cetak di koran sekolah kami. Kami semua menganggapnya lucu sekali [kecuali dia, tentunya]. Jadi kalo sampe sekarang dia masih dipanggil begini, ini semua salah si penulis artikel) cukup histeris waktu ngeliat ruang PKK kami yang dulu <span style="font-style: italic;">basically </span>cuma satu ruang kelas plus meja-kursi plus kompor dan tempat cuci sekarang berubah <span style="font-style: italic;">high-tech </span>dengan alat-alat <span style="font-style: italic;">stainless steel </span>yang kita bahkan gak tau namanya (oke, mungkin si Tama tahu, tapi kami yang dulu-PKK-cuma-main-masak-masakan-dan-bukan-masak-beneran-plus-cuma-milih-tuh-pelajaran-gara-gara-pilihan-satunya-Elektro-dan-daripada-kesetrum [mengingat kemampuan praktek fisika kami yang sangat diragukan]-mendingan-main-masak-masakan-kan?-plus-abis-itu-bisa-makan-enak-pula-DAN-halo-cowok-yang-kusukai-waktu-itu-juga-pilih-itu [<span style="font-style: italic;">don't judge</span>!] sama sekali gak tau)<br /><br />Lantai duanya lebar abis, bisa buat lari-larian plus main bola. V (tokoh utama kita!) juga bilang anak-anak cowok di kelas kami yang norak (diucapkan dengan nada penuh sayang, tentunya) itu pasti bakal langsung pake itu buat main bola kalo kami masih sekolah di sana.<br /><br />... Masih belum nyampe inti ceritanya juga. Udah capek belum? Aku udah. Nyambung entri berikutnya ah. Sekali-kali bikin cerita bersambung biar misterius... *<span style="font-style: italic;">evil laugh*<br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-style: italic;">... </span></span></span>Padahal sih aslinya males. Dan aku juga agak gak suka entri yang terlalu panjang, bikin <span style="font-style: italic;">scroll</span>-nya gak kira-kira. Iya, aku kan perfeksionis.<br /><br />Jadi: <span style="font-weight: bold;">TO BE CONTINUED!<br /><br /></span>*ditimpukin<span style="font-style: italic;"> </span>segala macem benda dari berbagai arah*<br /><br />Maaf ya, saya kan baru belajar nulis blog lagi! Mohon dimaklumi<span><span>!</span></span><span style="font-style: italic;"><span style="font-style: italic;"> </span></span><span><span>Janji</span></span><span style="font-style: italic;"> </span>deh entri berikutnya akan di-<span style="font-style: italic;">post </span>sebelum akhir abad ini.<br /><br />*dibunuh*Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-65506824500195042662008-11-08T01:21:00.003+07:002008-11-08T02:02:03.572+07:00Just Another Family Dinner 2: A SequelCerita lama sih... tapi si Droo ngotot nyuruh update, ya sudah ^^ Kenapa ya kalo update blog ini rasanya jadi males?<br /><br />...krik, krik.<br /><br />Ya iyalah.. gak ada yang baca gitu -__-; Well, kecuali satu-dua orang. Dan aku merasa di blog ini aku harus menulis kejadian yang lucu-lucu dan menghibur, gak bisa curhat soal hal-hal yang terlalu depresif gara-gara blog ini bisa diakses praktis siapa saja... sama sekali tidak aman untuk membeberkan rahasia terdalam hati seorang agen rahasia!<br /><br />*angin berhembus*<br /><br />Mm.. iya. Poinnya adalah: cerita tentang makan malam keluarga lainnya. Cerita favorit pembaca sekalian di mana pasti terjadi kejadian-kejadian menarik. Terutama kalo ceritanya <i>featuring</i>... ya, siapa lagi, Tante Jambu-Bol-Garis-Miring-Penyelundup-Botol-Equil favorit kita semua! Masih ingatkah kalian akan dia? Dia sudah muncul di dua cerita sebelumnya, yang pertama cerita Natal yang kalo nggak salah di blogku yang dulu, dan yang kedua cerita makan malam keluarga yang kayaknya ada di entry awal-awal blog ini (males banget nge-linknya).<br /><br />Sebetulnya cerita kali ini nggak selucu yang sudah-sudah. Maklumlah, sekuel. Tahu kan gimana sekuel jarang bisa menandingi cerita aslinya.<br /><br />Duh. Garing banget nih rasanya. Udah lama gak nulis dengan gaya seperti ini -_-;<br /><br />Omong-omong, si Tante kemaren baru dateng ke rumah. Aku jadi merasa bersalah nih. Tulis nggak ya? *digaplok pembaca yang udah gak sabaran*<br /><br />Ya udah, tulis deh. Kita buka saja aib keluarga ini...<br /><br />Jadi ceritanya ini makan malam ulangtahun kakak dan omaku yang kebetulan tanggalnya bersamaan, dan dirayakan dengan makan-makan di Sushi Tei! Kenapa Sushi Tei? Karena mamaku nanya padaKU mau makan di mana. Ya, aku.<br /><br />Mama: Enaknya makan di mana?<br />Aku: *memandang mama beberapa saat, mencoba mengira-ngira apa dia salah mengira aku sebagai kakakku. Rasanya nggak mungkin, soalnya 1) dia cowok dan 2) beda banget gitu loh. Tapi kalo nyebut nama emang sering salah. Seringnya tiga-tiganya disebut dan yang bener munculnya paling belakang. Mungkinkah ini gejala kepikunan yang mencapai tingkat berikutnya?*<br />Aku: Aku yang nentuin?<br />Mama: Iya.<br /><br />Yang punya hajat siapa, sih?? Ya udah deh. Emang gue pikirin. Malah kesempatan bagus untuk memilih restoran favorit~<br /><br />Aku: *dengan yakin dan tegas* SUSHI TEI!<br />Mama: Oke deh.<br /><br />Hore! Kita makan sushi! Untuk suatu alasan yang tidak bisa dijelaskan, mengingat ini bahkan bukan ulangtahunku!<br /><br />Sampai di sana, semua orang sibuk pesen sana-sini. Kecuali beberapa orang seperti papaku yang nggak begitu suka masakan Jepang, semua orang keliatan kayak belom makan seminggu, terutama yang cowok-cowok. Aku tentu saja memesan menu-menu favoritku dengan senang hati juga.<br /><br />Papa: Duh, nggak ada yang enak ini...<br />Mama: Abis dia maunya makan di sini... *melirikku*<br />Aku yang inosen dan tak berdosa: *melotot* LOH??<br /><br />Kok sekarang aku disalahin?? -___-; Jelas-jelas tadi memang aku yang disuruh milih. Udah tahu juga aku paling suka sushi. Dasar ibu-ibu >___><br /><br />Yah, akhirnya aku tidak mempedulikan tudingan tidak beralasan itu dan meneruskan makan. Lalu sampai waktunya pesan <i>dessert</i>! Sepupuku pesen entah apa dan aku pesen es krim wafer nikmat. Waktu pesenanku dateng, Tanteku yang terkenal itu tentu saja memberikan komentar kagum <i>random</i>-nya yang biasa:<br /><br />Tanteku: Liat tuh, (ngomong ke sepupuku) pesenannya lebih lucu! *menunjuk pesenanku*<br />Aku: ....<br /><br />Gak apa-apa. Sudah biasa kok. Serius ini dialog nggak dibuat-buat loh, btw. Orisinil. Aku juga nggak ngerti bagaimana dia bisa selalu melihat sisi yang nggak dilihat orang lain. Misalnya gimana <i>dessert</i>-ku terlihat lebih LUCU daripada punya sepupuku, dan dia mengatakannya seolah-olah sepupuku harusnya <i>jealous</i> atau berusaha memesan sesuatu yang lebih lucu lagi (oh ya, ini sepupuku yang sering "bersaing" denganku itu, pernah kuceritakan di entry lain juga, mungkin di blog lama. Setelah kakaknya mengikuti "jejakku" masuk kampus yang sama denganku, <i>surprise surprise</i>... dia memutuskan untuk masuk ke sana juga! Aku betul-betul memutar bola mataku waktu mamaku ngasih tahu berita ini. Ada apa sih dengan keluarga ini?? Dan dia juga meminta nasehatKU soal kuliah! Aku yang bukan cuma salah masuk jurusan tapi juga salah milih kampus!! Kalau dia betul-betul mau minta nasehatku, bakal kusuruh dia jauh-jauh dari kampusku, tapi kayaknya dia nggak bakal menganggapnya niat baik dan mengira itu undangan bersaing lainnya lalu malah masuk sana. Sigh... <i>some families are just that dysfunctional</i>.)<br /><br />Kembali ke Tante kita yang <i>spotlight</i>-nya sempat teralihkan sesaat. Kalian tahu kan tempat... er.. jahe(?) di Sushi Tei yang ada penjepitnya buat ngambil, karena bentuknya lembaran? Well.. aku melihat Tanteku mengamatinya, lalu mengatakan kalimat terkenal itu:<br /><br />Tanteku: Penjepitnya lucu ya.<br /><br />Deja vu!! Deja vu Botol-Equil-ijo-ijo-bagus-itu!!<br /><br />Aku yang mulai menyadari tendensi kleptomaniak ini mulai mengamati gerak-gerik tanteku dengan curiga. Dan benar saja!! Di akhir makan malam, dia mengeluarkan penjepit itu dari tempat jahe, membungkusnya dengan <i>tissue</i>, dan menyelundupkannya ke tasnya!!!! ARGGH, aku punya Tante Kleptomaniak Penjepit Jahe!! (Atau lebih tepatnya, Tante Kleptomaniak Benda-Benda Lucu di Restoran)<br /><br />Aku cuma mengamatinya sambil melotot nggak percaya. Dan kali ini nggak ada seorang pun yang mencegahnya karena... nggak tahu deh. Mungkin karena penjepit itu nggak segede botol Equil. Tapi.. staf Sushi Tei yang malang!! Mereka nggak bakal menemukan penjepit jahe yang hilang secara misterius itu selamanya!! Aku sudah bisa membayangkan <i>headline</i> di koran-koran, "Penjepit Jahe Hilang Secara Misterius dari Restoran Sushi Tei, Pondok Indah". Hmm... mengingat kami <i>reserve</i> meja, mereka bakal tahu nama orang terakhir yang makan di meja itu sebelum si penjepit jahe menghilang. Dan.. nama kami akan tercemar selamanya. Lalu bagaimana kalau kami di-<i>black list</i> dari semua Sushi Tei gara-gara tanteku?? Tidakkk... Sushi Tei restoran favoritku!!<br /><br />Omong-omong, dia juga membawa pulang tempat <i>dessert</i> sepupuku setelah isinya dihabiskan. Kurasa walaupun secara keseluruhan es krimku lebih lucu, sepupuku tetap menang karena dia punya mangkuk lucu sebagai tempatnya dan aku cuma punya piring biasa.<br /><br />Argh. Aku betul-betul nggak kepingin melihat adanya <i>Just Another Family Dinner 3</i>.<br /><br /><b>Edited later</b><br /><br />OMG. O.M.G.<br /><br />Aku baru saja melihat kembali entry Botol Equil untuk membandingkan kedua kasus dan tahu apa paragraf pembukanya?<br /><br /><i>Adalah sebuah cerita tentang keluarga yang ingin mengadakan acara makan malam kecil-kecilan untuk merayakan ulangtahun kakakku dan omaku yang tanggalnya persis sama...</i><br /><br />!!!!<br /><br />KEDUANYA SAMA-SAMA MAKAN MALAM MERAYAKAN ULANGTAHUN MEREKA!!<br /><br />Apakah ini artinya setiap tahun, saat kami merayakan ulangtahun kakak dan omaku, tanteku bakal menyelundupkan sesuatu dari restoran? Apakah ini pola <i>behavior</i> kleptomaniak tersebut? Apakah para petugas yang menginvestigasi bisa langsung melihat kesamaan ini dan menangkap kami pada <i>family dinner</i> berikutnya??<br /><br /><i>So much for hoping there won't be another sequel</i>.Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-18180733188560194702008-06-26T21:48:00.003+07:002008-06-26T22:06:08.192+07:00Executive-Class-Newbie on A Plane [Snakes on A Plane: A Sequel]Mmm.. oke, cerita ini memang udah lama banget. Tapi sayang kalo gak dimasukin. Waktu kejadiannya aja panik banget nyari-nyari bolpen dan kertas untuk nulis supaya jangan sampe lupa. Sayangnya bolpen ada di tas tapi ga ada kertas di dalam pesawat. Adanya cuma kantong buat muntah, dan... aku gak mau diliatin pramugari dengan curiga lagi nulis-nulis di atas kantong itu. Yep, akhirnya... berjuta-juta tahun kemudian baru cerita ini bisa didokumentasikan.<br /><br />Jadi begini ceritanya, kira-kira seminggu lalu aku kabur ke Singapore lagi untuk men-stok ulang buku-buku berbahasa Inggris keren yang kayaknya ada di semua negara kecuali di sini. Lalu entah bagaimana aku berakhir dengan tiket Executive Class sementara mamaku di Economy Class. Jadilah aku duduk sendiri, tanpa teman, sendirian...<br /><br />Di Executive Class.<br /><br />Ini baru kali keduanya aku duduk di sana. Yang pertama terjadi beberapa waktu lalu, waktu aku, mama, papa, dan kakakku lagi jalan-jalan ke Bali. Dalam perjalanan pulang, waktu mau masuk pesawat, tiba-tiba si pemeriksa tiket memanggil kami dan menyuruh kami tunggu sebentar. Kami berpandangan panik. Apakah kami ketahuan menyelundupkan barang ilegal? Apakah paspor kami palsu? Apakah kami diduga sebagai teroris? *ditimpuk karena kebanyakan nonton film <span style="font-style: italic;">action</span>*<br /><br />Ternyata, kami di-<span style="font-style: italic;">upgrade</span> ke Executive Class.<br /><br />Tapi kejadian itu ternyata nggak banyak menolong, mengingat kekacauan yang terjadi pada perjalanan kali ini. Aku sudah lupa pengalaman dulu itu, jadi masih agak norak deh waktu terbang ke Singapore itu. Well, intinya sih, kalo duduk di sana, pramugari rajin mondar-mandir ngasih segala macem. Kayaknya jarang banget dapet waktu untuk sendiri. Awalnya dikasih minum (dalam gelas, sementara di Economy Class dalam kemasan plastik yang harus dibuka sendiri dan kalau sampe muncrat dalam prosesnya tanggung sendiri akibatnya), dan sesudah itu <span style="font-style: italic;">take off</span> tak lama kemudian. Aku cukup senang karena sebelahku kosong, bahkan kursi di seberang gang barisanku juga kosong. Hmm... serasa <span style="font-style: italic;">private jet</span> sendiri.<br /><br />Setelah <span style="font-style: italic;">take off</span>, aku memundurkan sandaran kursi. Secara instingtif memencet tombol yang paling depan. Ups. Lho? Kok malah sandaran kaki yang naik? Aku nunduk dan ngeliat ternyata ada tiga tombol. Hmm, satu untuk mundurin dan satu untuk majuin lagi. Yang kupencet tadi buat sandaran kaki. Biasanya di Economy cuma ada satu. Setelah mempelajari ini, aku memencet tombol yang benar, dan mumpung tuh sandaran kaki dah setengah keluar, kupencet juga biar keluar sekalian.<br /><br />Ahh... nyaman.<br /><br />Waktu makan pun datang. Untungnya aku ingat fakta yang satu ini dari penerbangan di Executive Class sebelumnya; meja ada di bawah <span style="font-style: italic;">handrest</span>, bukan di sandaran kursi depan. Dengan bangga mengeluarkan meja sebelum si pramugari datang untuk menghidangkan makanan (yang entah bagaimana aku cuma dapet sisa dari 2 pilihan yang ada, padahal penumpang di kelas itu sedikit. Huff...). Ternyata makan sambil sandaran kakinya naik itu nggak enak. Nah, waktu aku mau nurunin lagi inilah sedikit masalah terjadi.<br /><br />....<br />....<br />....<br /><br />Yang mana tombolnya??<br /><br />Aku memeriksa tombol di <span style="font-style: italic;">handrest</span> sebelah kanan. Ada gambar sandaran kaki lagi, tapi waktu kucoba gak terjadi apa-apa. Yang ada malah tuh sandaran makin melorot ke bawah. Duh. Gimana cara naikinnya lagi?? Sial. Sial. Nanti pas mendarat kan semuanya harus dibalikin ke posisi awal. Haruskah aku nanya dan mengaku aku gaptek di Executive Class? Panikpanik.<br /><br />Aku memutuskan untuk makan dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Masih banyak waktu untuk mencari tahu cara mengembalikannya ke awal... Setelah selesai makan, sang pramugari yang setia melayani menawarkan sekontainer kecil es krim Haagen Dasz. Haagen Dasz! Yang mahal itu! *norak mode: ON*<br /><br />Aku segera mencomot yang rasa cokelat dengan PD. Setelah sang pramugari pergi, aku menatap tu kontainer kecil. Mmm... sendoknya mana ya? Aku memeriksa peralatan makanku dan hanya menemukan satu sendok. Hm. Hm. Aku memutuskan untuk membuka tutupnya saja, berharap sendoknya akan muncul secara ajaib di dalamnya...<br /><br />Dan ternyata, memang ada sendok di dalam sana. Oh.<br /><br />Yah, setidaknya, kurasa itu sendok. Bentuknya agak gak jelas. Dua ujungnya bulet dan panjangnya gak seberapa. Lebih mirip tutup kaleng Coca Cola tanpa lubang. Meskipun gak yakin aku bisa makan dengan itu, dan masih gak yakin itu memang sendok, akhirnya aku memakainya dengan PD, berdoa agar si pramugari gak ngeliat trus ngedatengin dan menjelaskan dengan sopan bahwa itu bukan sendok, melainkan... apalah. Benda nggak penting yang tidak seharusnya dipakai untuk makan pokoknya.<br /><br />Tapi aku berhasil menghabiskan es krim itu dengan tenang, walaupun sedikit susah payah. Setelah semua peralatan makan dibereskan, aku kembali mengutak-atik tombol-tombol untuk mencari cara mengembalikan sandaran kaki sialan itu ke posisi awal. Kudorong-dorong sekuat tenaga tapi gak ada yang berhasil. Akhirnya aku memutuskan untuk baca buku aja dan menghadapi yang harus dihadapi kalau sudah waktunya saja.<br /><br />Di tengah-tengah kegiatan membaca, tiba-tiba mendapat pencerahan. Kenapa gak pake tombol yang sama yang tadi buat ngeluarin aja? Kucoba lagi tuh tombol. Kudorong sekeras mungkin tuh sandaran. Dan... bergerak! Akhirnya! Yay! Ternyata memang tombol itu. Dan ternyata memang butuh sedikit tenaga. Berhasilllll.<br /><br />Sebelum mendarat, si pramugari menyuruhku mengembalikan sandaran kursi ke posisi awal. Tidak lupa dengan petunjuk "tombol yang paling belakang". Yang ITU sih aku tahu.Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-53094744693238220582008-05-05T02:21:00.000+07:002008-06-26T22:11:33.985+07:00And The Award For Cheesiest Speech Goes To...Hmm.. kemaren waktu lewat kampus kebetulan mendengar <i>speech</i>-nya para calon-calon Miss Kampus Kita Tercinta. Cukup menarik sebetulnya. Dua yang kuinget jelas:<br /><br />Cewek-Entah-Siapa: "Saya dan teman-teman saya, keduabelas finalis yang ada di sini saat ini, semuanya berbeda-beda. Kami bagaikan pelangi yang berwarna-warni..."<br /><br />Terakhir kali aku belajar tentang pelangi, kayanya warnanya cuma tujuh deh. So kira-kira kalo sampe dua belas ditambahin warna apa aja ya?<br /><br />Cewek-Entah-Siapa-Lagi: "Hari ini... saya berdiri di sini... bukan karena kekuatan saya sendiri. Bukan karena kemampuan saya sendiri..."<br /><br />Karena Cinta-kah? Itu loh, lagunya Joy si <i>Indonesian Idol</i>.<br /><br />Cewek-Entah-Siapa-Lagi melanjutkan pidatonya, sayangnya bukan dengan kata-kata "Karena cinta". Lupa dia bilang karena apa. Tapi sumpah deh, poinnya adalah, waktu aku ngedengerin semua <i>speech</i> super puitis dan inspirasional itu, yang ada pengen ngakak keras-keras. Tapi kan gak enak, ntar disangka gak waras.<br /><br />Tapi beneran deh. Mereka itu SERIUS ya? Mereka SERIUS berpikir pidato itu BAGUS? INSPIRASIONAL? OMG. Aku emang gak pernah tertarik untuk aktif dalam kegiatan sekolah atau apa, tapi... aku juga nggak pernah membayangkan kalo <i>speech-speech</i> itu bisa begitu... <i>cheesy. Pretty much made me cringe</i>. SERIUS DEH. Entah apa yang dijanjikan atau diajarkan kampus kami, tapi yang jelas itu benar-benar menggelikan sekali. Dan aku yakin orang yang nggak sesinis aku pun bakal setuju, jadi ini bener-bener penilaian yang objektif.<br /><br />Ugh. <i>Still can't get over how cheesy that whole thing was. UNBELIEVABLE</i>.Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-84582904026163883492008-04-03T15:05:00.002+07:002008-04-03T15:50:51.149+07:00Another Dinner, Another Awkward MomentMaaf, updatenya telat banget. Kejadian di bawah ini terjadi pada hari Minggu. Tapi karena satu dan lain hal (baca: <i>life is being a bitch</i>), baru bisa update sekarang. Jadi begini ceritanya. Keluarga besarku itu cukup multikultural. Bahkan keponakanku aja bule. Jadi nggak heran kalo aku punya sepupu-sepupu bule nun jauh (gak jauh si sebenernya) di Australia sana. Valen pasti demen dan girang banget deh kalo denger ini. Tapi maaf, saya gak norak kaya dia.. *ditimpuk Valen*<br /><br />Yah jadi ceritanya salah satu sepupuku yang paling tua dateng hari Minggu kemaren. Iya, yang bule itu. Tapi kalo ada yang niat pengen minta dikenalin mending nggak usah, soalnya dia dateng ama pacarnya (tenang, bukan hanya Anda yang patah hati). Mo tau ganteng apa nggak? Ya pastilah... gen keluargaku gitu *dilempar bata*<br /><br />Hmm.. jadi intinya pas ketemu di bandara aku mengulurkan tangan dengan sopan untuk salaman, tapi dia malah mendekatkan diri untuk cipika-cipiki. Jadi aku, walaupun tidak mengharapkan kontak sedekat itu, dengan senang hati melakukannya. Tapi mungkin budaya di sana bukan cipika-cipiki kali ya? Soalnya pas abis sekali tempel pipi, dia udah mau mundur lagi sementara aku dengan instingtif memalingkan muka untuk tempel pipi satunya. <i>A little bit awkward there...</i> tapi untung dia nyadar maksudku dan kami pun menyelesaikan ritual gak penting itu...<br /><br />Sepanjang perjalanan pulang, mereka terkagum-kagum pada Jakarta yang memang memalukan ini. Pada dasarnya mereka mendapat kesimpulan bahwa kalo nggak ada polisi, apa aja boleh dilakuin. Hebat. Dan oh ya, kenapa sih orang bule punya kemampuan ekstrovert alami yang luar biasa? Dengan santai dan gampangnya mereka berdua langsung bisa ngobrol akrab dengan kami (baca: mama dan kakakku yang juga ekstrovert sejati tapi nggak mau bagi-bagi gen ekstrovertnya ke aku) serasa udah kenal lama padahal udah bertahun-tahun gak ketemu. Ada aja yang diomongin. Dan gaya mereka santai banget, sumpah bikin iri. Gak adil banget kalo kepribadian seseorang ditentuin ama di benua mana mereka dilahirkan.<br /><br />Omong-omong, <i>I love his voice</i>. Ah.. <i>I loooove it. Must. Not. Crush. On. My. Own. Cousin.</i><br /><br />Betewe lagi, aksennya juga bagus. Aku biasanya benci aksen Australia karena 1) susah dimengerti dan 2) kedengerannya nyebelin. Tapi aksen dia enak didenger dan gampang dimengerti. Mantap deh... <br /><br />Malem itu kita ada acara makan malem buat nyambut mereka. Aku berangkat belakangan sama papaku.. dan sempat berpikir ini acara resmi atau apa sampe sempet berniat pake <i>dress</i> (kasual sih, tapi tetep aja nggak pernah kulakukan). Untungnya gak jadi, karena ternyata bukan di hotel atau bahkan restoran tapi... di PIM. --;<br /><br />Gak penting banget ya? Sebagai anggota klub ansos yang membanggakan, aku disediain tempat di ujung meja yang depannya gak ada siapa-siapa, terasing sendirian. Dengan lega aku makan dengan nyantai tanpa peduli orang lain sibuk berbasa-basi sendiri. Semua pada memandangku dengan kasian karena jauh dan dicuekin, tapi aku sih nyantai-nyantai aja. Aku malah sibuk memikirkan lagi nge-<i>date</i> ama aktor-aktor cakep seperti Michael Vartan atau Wentworth Miller... kebetulan kan kursi depanku kosong, jadi senyum-senyum ke arah sana pun gak masalah. Paling dikira agak gila sama orang sebelah... [/ansos sejati]<br /><br />Abis makan jelas aja ada <i>photo session</i>. Bener-bener dah kaya di studio foto, kita foto ganti-ganti pose sampe jutaan kali dengan jutaan kamera. Sepupu-sepupu buleku yang malang pasti bertanya-tanya apakah di Jakarta bule segitu langkanya. Ataukah emang orang Jakarta norak semua. Aku belom bilang ya kalo di kerumunan ini ada tanteku yang dulu pernah kutulis di sini mencoba menyelundupkan botol Equil? Jelas aja semua ide foto ini datangnya dari dia. Setelah selesai berfoto-foto ria baru nyadar kalo <i>background</i> kami dari tadi adalah... <i>Hydrant</i>. Fantastis banget kan?<br /><br />Setelah basa-basi mondar-mandir gak jelas gak penting buang-buang waktu lagi dan semua orang meributkan empek-empek yang ketinggalan di mobil berulang-ulang sekitar setengah jam kemudian, akhirnya pulang juga. Tanteku dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata lain selain mupeng melambai selamat tinggal pada sepupu buleku yang cakep, dan sumpah deh, dia bilang "Dadah"-nya juga dengan nada <i>flirty</i> gitu. Dasar awet muda...<br /><br />Habis mereka pisah, jelas aja tanteku langsung mulai bergosip ria tentang gimana sepupuku waktu kecil dulu. Katanya sih dulu nakal banget, sempet jatoh di eskalatorlah, kejepit di pagerlah, atau jatoh dari lantai 3-lah (gak gitu ngerti, diduga ada unsur hiperbolis di sini). Intinya, bener-bener malam yang melelahkan.. tapi cukuplah untuk hiburan dan bahan tulisan blog. Sekarang, kembali ke <i>life</i> yang <i>being a bitch</i> tadi... *sigh*Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-50535961730372370072008-03-28T21:27:00.003+07:002008-03-28T22:11:50.024+07:00A Bunch of Random Complaints (Because Customers Who Paid A LOT are Always Right...)Ngomong-ngomong soal rasa bersalah yang berkaitan dengan kejujuran seperti yang diomongin di kelas Character Development tadi. Sudah bukan rahasia lagi kalo Mel dan aku suka melakukan <i>fabrication</i> seperti yang dibahas di presentasi kami sendiri tadi. Kupikir sih selama ini aku gak ngerasa bersalah. Gak terganggu sedikit pun. Udah terlanjur kesel gara-gara salah jalur padahal harusnya jadi penulis fiksi, akhirnya maksa menyalurkan bakat padahal harusnya gak boleh. Sebodo lah. Tapi entah kenapa, tiba-tiba beberapa hari yang lalu aku mimpi. Mimpi menyatakan kebohonganku di depan salah satu dosen yang ngajar di semester ini. Tentunya sebagai pecinta <i>Alias</i> sejati, mimpiku ada unsur-unsur <i>espionage</i>-nya dan alasan aku mengakui kebohongan masalah bikin <i>interview</i> itu adalah akibat <i>sodium penthotal</i> alias <i>truth serum</i>. Keren kan? *ditimpuk*<br /><br />Yah, intinya aku nggak tau gimana cara kerja si serum kejujuran itu, tapi yang pasti dalam mimpi aku dituduh bikin wawancara palsu tapi dengan bangganya membantah kalo gak ada bukti itu palsu. Walaupun aku bermaksud bilang begitu, dan ngedenger diriku sendiri berkata begitu, tapi ternyata akibat serum sialan itu yang keluar dari mulutku dan didenger orang lain adalah hal yang sebenernya. Aneh memang. Namanya juga mimpi. Intinya ketahuan deh kalo tuh wawancara palsu. Aku bangun sambil merasa sedikit bersalah (dan oke, lega itu cuma mimpi). Terutama karena sang dosen yang 'ditipu' bukan termasuk dosen yang menyebalkan, walaupun agak membosankan. Ah, ya sudahlah. Paling nggak, hati nurani(?)ku masih ada dan mencoba memperingatkanku dari alam bawah sadar. Lebih baik daripada bisa menipu tanpa merasa bersalah sama sekali seperti yang dibilang si bapak tadi, kali ya.<br /><br />Omong-omong lagi, pernah nyadar gak kalo di kampus kita itu suka ada troli? Kemaren aku lagi duduk di sekretariat jurusan trus menyadari keberadaan sebuah troli di deket pintu. Pertama aku bertanya-tanya buat apaan sih troli-troli itu? Ini kan bukan supermarket. Trus yang kedua aku bertanya-tanya dari mana sih mereka dapet troli? Adakah toko yang jualan khusus troli? (Seseorang yang sedang menunggu dengan bosan memang cenderung memikirkan pertanyaan-pertanyaan aneh gak penting seperti ini). Kemudian pertanyaan kedua itu terjawab dengan sendirinya waktu aku melihat logo di pegangan troli tersebut.<br /><br />Yak... logo apalagi kalo bukan logo Hypermart.<br /><br />Intinya... kampusku yang sangat mahal itu nyolongin troli Hypermart.<br /><br />Bener kan? Kesimpulan yang tepat, kan? Nggak mengada-ada nih. Aku kan udah belajar Dasar-Dasar Logika. Ini sangat masuk akal.<br /><br />Begitulah kampus saya. Dan omong-omong, kemaren aku lagi butuh-butuhnya internet dan di SEANTERO KAMPUS NAN BESAR itu gak tersedia sama sekali. Di perpus cuma dikit banget komputer yang internetnya nyala (jelas virus apa pun waktu itu yang ada di komputer ber-pop-up yang aku pake masih belum beres, gak heran banget walopun udah hampir SEMINGGU berlalu, dasar gak kompeten - dan omong-omong, BUKAN aku yang naro virus di sana, meskipun aku mungkin bakal dicurigai karena sidik jari orang terakhir yang memakainya sepertinya aku. Coba kalo aku beneran yang naro virusnya, seenggaknya bisa bangga kali ya?) dan semuanya dipake orang. Keliling-keliling berapa menit tanpa hasil, tahu kalo perpus itu pasti nggak bisa diandalkan akhirnya milih nyari warnet. Sampe mall, belom buka. Bagus. Berjalan ke warnet di deket tempat parkir, entah kenapa dah gak ada tuh warnet. Hebat. <br /><br />JADI INTINYA KALO PERLU INTERNET DI KAMPUS HARUS KE MANA??<br /><br />Nyebelin gila udah muter-muterin ngubek-ngubek seisi areal kampus gak ada internet tersedia barang sejengkal pun. MANA NIH FASILITAS YANG DIJANJIIN?<br /><br />Capek deh komplain soal kampus melulu.Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-18680486250715528632008-03-19T18:45:00.002+07:002008-03-19T19:02:46.803+07:00When You Find More Useless Things Everyday...Ini bukan hari yang baik. <br /><br />Pertama-tama, semalem aku gak bisa tidur. Akhirnya jam setengah 5 pagi, dengan semangat yang entah dari mana datangnya memilih untuk belajar Consumer Behavior di pagi buta (hal yang nggak pernah kulakukan seumur hidup) sambil selonjoran di tempat tidur di kamar yang masih gelap gulita (belajarnya pake slide di laptop). Akhirnya setelah selesai belajar sempet ketiduran sebentar (tentu saja) sebelum pintu kamarku digedor-gedor dengan tidak manusiawi menandakan sudah waktunya bangun. Sambil memikirkan jutaan kata makian yang terpikir, mulai siap-siap berangkat kuliah. Kalo bukan karena ada ujian hari ini aku pasti udah bolos.<br /><br />Bergerak seperti zombie sepanjang hari. Adalah suatu keajaiban aku bahkan bisa mikir waktu ujian. Rasanya kepala dan badan ringan banget kaya bisa pingsan kapan aja. Sungguh sensasi yang aneh. Satu-satunya hal yang membuatku tetap maju terus pantang mundur (bukannya ada pilihan lain sih) adalah ingatan bahwa mulai besok libur 4 hari!! <i>Super long weekend!!</i><br /><br />Akhirnya hari yang menyebalkan ini berakhir juga setelah melewati berbagai perjuangan dan kejadian nggak penting lainnya. Terutama kejadian nggak penting waktu aku berjalan pulang ke arah tempat parkir melewati pos satpam tempat pemeriksaan tas. Emang sih ada 2 jalur, masuk ama keluar, tapi serius deh, apa bakal ada kecelakaan lalu lintas parah kalo aku nyasar ke jalur masuk? Kayanya aku sering-sering aja tuh lewat sembarangan di situ kalo jalur keluarnya lagi penuh.<br /><br />Nggak peduli kalo aku udah setengah jalan ngelewatin tuh pos satpam, si satpam dengan keras kepalanya berdiri menghadang jalanku dan mengisyaratkan agar aku keluar lewat jalur yang benar. YANG ARTINYA MUNDUR LAGI DAN MUTER BALIK. Menjengkelkan banget gak sih? Bahkan bukannya ada segerombolan orang di jalur masuk atau apa. EMANGNYA KENAPA KALO AKU LEWAT SITU?? Toh aku udah SETENGAH JALAN. Dan aku capek banget. Gak tau apa aku belom tidur semaleman?? Balik arah tuh buang-buang energi, tau!<br /><br />Aku masih nggak ngerti apa yang ditakutin si satpam itu. Apakah dia takut aku bakal melakukan <i>brush pass</i> dengan orang yang baru masuk dan memberikan dia bom setelah dia lolos pemeriksaan? *terlalu banyak nonton Alias mode: ON* Padahal faktanya aku udah sering mikir soal cara nyelundupin bom seperti itu dan itu gak akan berhasil karena aku kan arahnya dari dalem kampus, yang artinya pada suatu saat SUDAH melewati pemeriksaan dan TIDAK MUNGKIN membawa bom (teknisnya, paling nggak, kenyataannya sih bisa aja, orang diperiksanya gak niat gitu). Jadi sampe sekarang aku masih nggak ngerti kenapa aku diusir-usir dengan NGGAK SOPANNYA gitu! Apa sih MASALAH BESARNYA kalo aku salah jalur?? NYEBELIN BANGET DEH!<br /><br />Orang yang gak tidur semaleman = bad mood = tambah pengen ngebom beneran tuh kampus.Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-34829299149221533232008-03-13T22:47:00.003+07:002008-03-13T23:08:27.457+07:00Some Catching Up To Do...Yah, aku tahu banyak yang nungguin <span style="font-style:italic;">entry</span> Senin lalu. Tapi jujur aja, males banget mengekspos (lagi-lagi) betapa nggak kompetennya anak-anak 2006 yang delusional sampe mengeja nama orang pun sulit dan menulis namaku dengan awalan C bukannya K. Apakah mereka segitu <span style="font-style:italic;">European-minded</span>-nya atau gimana? Soalnya bukannya aku nggak pernah berharap namaku beneran diawali C sih, soalnya emang keliatannya lebih keren (kecuali bagi mereka yang agak kuper dan membaca awalan C tersebut sebagai C dan bukannya berbunyi seperti K). Bukannya juga si <a href="http://desperadroo.blogspot.com">Droo</a> nggak pernah ngasih panggilan <s>spesial</s> buatku, yang nggak jauh-jauh dari itu juga; <i>Carine</i> (C dibaca sebagai K dan E-nya <i>silent</i>, tentu saja). Tapi tetap saja deh. Di negara kita tercinta ini, ada nggak sih orang yang mengeja nama seperti namaku dengan cara seperti itu?? Lagian ntar inisialku berubah jadi AC; nggak keren banget kan? Emangnya aku pendingin ruangan?<br /><br />Seperti dibilang tadi, itu ocehan nggak penting. Kenyataannya, aku berhasil melakukan trik manipulasi dan menggunakan sedikit kekuasaan senior sehingga mereka yang mengerjakan seluruh tugas kelompok itu (iya, dari tadi ngomongin tugas kelompok dari <i>entry</i> lalu, bagi yang baru ngeh). Ya salah mereka juga sih baru kontak aku sehari sebelumnya, pas aku lagi jalan-jalan pula. Padahal tugasnya <i>interview</i>. Tentunya tadinya mau aku bikin fiksi seperti kebiasaanku dan Mel, tapi ternyata malah mereka keburu merasa bersalah duluan dan menawarkan supaya aku tinggal presentasi aja. Ternyata... saya punya bakat manipulasi juga. <i>*evil laugh*</i><br /><br />Cerita berlanjut pada Senin minggu depannya (kenapa cerita yang layak masuk di blog ini terjadi hari Senin melulu sih?) waktu ujian Kewarganegaraan. Yang mana aku nggak punya catetan selain coret-coretan gak jelas satu lembar sama bahan presentasi kelompok yang TENTUNYA nggak keluar sedikit pun (bukannya aku udah belajar dari situ sih. Aku aja udah lupa pernah presentasi dan punya bahannya). Akhirnya nekat untuk pertama kali dalam hidup (kecuali dalam setiap ujian Bahasa Inggris tentunya), aku nggak belajar. Mengandalkan kemampuan ingatan otak samar-samar dari pertemuan-pertemuan sebelumnya, berharap bisa mengingat detail penting yang vital seperti waktu di tes lisan super mendadak yang ajaibnya aku bisa dapet A setelah ngoceh nggak jelas sebagai usaha menjawabnya.<br /><br />Keberuntunganku tidak terlalu bagus sayangnya, karena ingat, ujiannya dilaksanakan hari Senin! Jadi tentu saja, hampir semua pertanyaannya aku nggak ngerti harus dijawab apaan. Jadi kegiatanku selama satu setengah jam ujian antara lain adalah:<br /><br />*menatap pertanyaan dalam-dalam dengan harapan ilham akan muncul secara ajaib dan otak tiba-tiba mengerti apa sih yang ditanyain sebenernya?*<br /><br />*melirik kanan-kiri tanpa maksud ingin mencontek, cuma pengen liat yang lain pada bisa atau nggak*<br /><br />*melamun, pikiran melantur ke mana-mana*<br /><br />*tiba-tiba setelah membaca salah satu pertanyaan untuk keseratus kalinya entah kenapa teringat waktu mantanku nembak dan struktur kalimatnya agak nggak beres, masih bertanya-tanya apa itu cuma disebabkan karena dia lagi <i>nervous</i> atau memang nggak semua orang sepeduli sama struktur kalimat seperti aku? Apa aku aneh karena masih suka merasa terganggu dengan ketidakberesan itu sampe sekarang, padahal jelas-jelas pentingnya isi pesan tersebut harusnya membuat semua hal lain jadi nggak penting? <i>Am I some sort of perfectionist grammar freak?</i>*<br /><br />Ah, sudahlah. Nggak perlu dijelaskan lagi, ujian itu kacau. Tapi tetap saja, dasarnya punya bakat ngarang novel, akhirnya dua halaman folio itu penuh juga entah bagaimana, dengan ocehan-ocehan gak jelas dan gak nyambung sampe tanganku pegel banget. Nggak ada yang lebih menyenangkan daripada nulis ujian sampe tangan pegel gara-gara kita tau semua jawabannya dan pengen menuangkan seluruh isi otak kita ke kertas. Tapi kalo otak kosong gini, yang ada hanya terbengong-bengong dari mana jutaan paragraf yang kayanya sangat berbobot itu berasal. Ternyata memang bakat menulis itu sangat berguna di berbagai bidang. Diberkatilah mereka yang cukup beruntung untuk memilikinya.Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-8474308293752820473.post-80321883851257634862008-02-18T23:26:00.002+07:002008-02-18T23:44:51.450+07:00A Fan-Freakin-Tastic DayKenapa ya belakangan ini blog saya jadi sering didemo buat update? Bukannya nggak seneng sih... cuma... ya gitu deh. Hehehe. Ga jelas ya? <br /><br />Ya beginilah ceritanya, lagi-lagi hari Senin, dan hari ini adalah salah satu hari terburuk yang pernah ada. Kayanya aku kualat gara-gara sibuk menjelek-jelekkan anak-anak angkatan 2006 yang delusional deh. Karma itu ada, teman! <br /><br />Hari ini diawali dengan hujan yang mengguyur dari sejak aku bangun tidur. Otomatis pengennya langsung tidur lagi, melihat suasana dingin-dingin empuk seperti itu, tapi naluri-mahasiswa-yang-baikku akhirnya mendorongku turun dari tempat tidur dan bersiap-siap berangkat juga. Sudah berpikir kemungkinan besar pada nggak masuk lagi, tapi ya udahlah, aku masuk aja. Itung-itung absenin yang lain. Baik banget nggak sih aku ini? *ditimpuk*<br /><br />Yah.. sampe tol ujan udah reda. Kupikir nggak perlu repot-repot bawa payung lagi. Taunya... giliran keluar tol langsung ujan deras lagi. Bagus. Jadi lagi-lagi aku harus mengarungi jalanan becek super-panjang-gak-beratap itu yang bener-bener membuatku heran kadang-kadang apa maksudnya bikin jalan nggak penting sepanjang itu sampai gedung kampus tanpa atap sama sekali, sambil bawa payung dan mencoba melindungi semua barang bawaan dari kebasahan.<br /><br />Sampai di kelas. Pintu masih kebuka dan orang-orang masih di luar. Awas aja kalo sampe nggak ada kelas. Walaupun ada yang bilang nggak ada kelas (sudah pasti buat membohongi orang-orang naif yang mudah percaya), aku masuk dan mendapati tentu saja, walaupun udah jam 8, nggak ada tanda-tanda kedua makhluk yang kukenal di kelas ini. Aku mengeluarkan HP untuk mencari keberadaan mereka dan menemukan ketidakberuntungan pertama: HP-KU TEWAS.<br /><br />Perasaan kemaren malem baterenya masih 2 garis deh? Tadi pagi emang tinggal satu tapi mana sempet nge-charge coba? Lagian HP-ku itu nyebelin banget, kalo udah mati gara-gara abis batere gak bakal idup-idup lagi sebelom di-charge. HP Nokia 7610-ku yang lama kalo mati setidaknya masih bisa idup lagi walaupun sebentar, cukup buat kirim SMS darurat. Bagus banget. Tampaknya aku bakal harus mencari supirku secara manual (baca: mengarungi tempat parkir becek bak sawah) nanti setelah kelas selesai karena nggak bisa menelponnya.<br /><br />Akhirnya si bapak dosen dateng. Telat juga dia ternyata. Pelajaran berlangsung, blah blah blah... kadang-kadang aku melamun atau ngeliat ke luar dan bertanya-tanya kapan selesainya supaya aku bisa cepet kabur. Lalu tiba-tiba, 45 menit sebelum selesai, aku merasakan gelagat aneh. MARABAHAYA AKAN SEGERA DATANG. Indra keenamku praktis memberitakan <em>feeling</em> jelek ini.<br /><br />Dan benar saja: si bapak mengumumkan bahwa yak... sekarang tugas kelompok. Sampai saat ini aku masih menenangkan diri: anggota kelompokku nggak ada semua tapi gak masalah. Yang penting aku tau tugasnya. Lalu tentu saja, itu terlalu indah untuk menjadi kenyataan di hari sial ini. Si bapak mengumumkan bahwa kelompoknya bakal ditentuin. Katanya "karena nanti kalo kerja kita nggak bisa milih temen kerja kita, jadi ini untuk latihan". Aku menahan diri untuk nggak menimpuknya dengan HP, karena biar pun udah tewas, sayang kalo ampe kenapa-kenapa. HP-nya, maksudku.<br /><br />Lalu dia membagi kelompok dan aku masih berharap dia membagi menurut absen. Karena nama Mel dan aku kan deketan di absen. Tapi dia memberikan berita buruk kedua: YANG NGGAK MASUK NGGAK DIITUNG. Bagus. Jadi sudah pasti aku bakal sekelompok dengan anak-anak 2006 tak dikenal. YANG DELUSIONAL DAN AKU JELEK-JELEKIN DI BLOG.<br /><br />Fantastis.<br /><br />Aku mendapat kelompok bersama 4 orang lainnya yang kebetulan duduk di deketku. Aku melirik jam dan berpikir, "Ah, paling nggak ini harus berakhir jam 10 nanti. Bisa seburuk apa sih?"<br /><br />JANGAN PERNAH BERPIKIR HAL IDIOT SEPERTI ITU.<br /><br />Karena tentu saja kemudian dia mengumumkan kalo tugas itu buat DUA MINGGU LAGI, yang berarti BANYAK WAKTU untuk kerja kelompok, karena omong-omong nanti tugas ini mesti diPRESENTASIKAN. <br /><br /><em>Fan-freaking-tastic.</em><br /><br />Setelah selesai mengumumkan kalimat demi kalimat yang makin menghancurkan jiwa ini dengan tenang, sang dosen pun menyelesaikan kuliah, kelas pun bubar, dan semua meninggalkanku terpuruk sendirian.<br /><br />Oh, karma, kenapa kau begitu kejam?Corneliahttp://www.blogger.com/profile/12315245749446582194noreply@blogger.com5