Thursday, July 01, 2010

Kisah Petualangan Seorang Mahasiswi Sulit Lulus ke Masa Lalu

1
Memutuskan untuk meng-update blog ini setelah mendapatkan bahan cerita baru. Apalagi setelah pembicaraan sama Mel tadi sore...

Mel: Saking sibuknya ngerjain skripsi, blog-ku ampe terlantar.
Aku: Oh ya? *seneng dapet temen senasib* Akhirnya blog-mu terlantar juga!
Mel: Iya, udah DUA HARI sejak aku terakhir nge-post...
Aku: .........................................................

Hari ini aku berkunjung ke SMA-ku tercinta (perlu ditekankan lagi bahwa ini berbeda dengan waktu aku mengatakan ‘universitasku tercinta’. Yang satu mengandung sarkasme dan yang satu tidak. Coba tebak mana yang tulus dan mana yang sarkastis.) untuk melegalisir ijazah lagi untuk universitasku tercinta yang suka ngerepotin orang dengan masalah nggak penting (jelas-jelas ijazah udah dikasi dari zaman pendaftaran dulu.. emang mau diapain lagi sih?) sebagai persyaratan sidang skripsi.

Oh, ya! Mahasiswi yang nggak lulus-lulus ini akhirnya sudah akan sidang skripsi! Hore!

Statusnya hari ini adalah: H-8 menuju deadline skripsi.
Berapa kali aku pernah belajar/mengerjakan apa pun yang berhubungan dengan tugas sekolah/kuliah sampai jam tiga pagi sepanjang hidupku: 0 (NOL)

... sampai KEMARIN MALAM.

Minggu neraka sudah dimulai.

(Well, setidaknya ini dimulai seminggu sebelumnya, bukan sehari sebelumnya seperti seorang mahasiswi nggak lulus-lulus lain yang kita kenal waktu mengerjakan KP-nya… *lirik-lirik blog sebelah*)

Oke. Kembali ke kunjungan ke SMA-ku tercinta. Berhubung ini udah masa libur, maka nggak seorang pun anak SMA imut-imut yang pake seragam terlihat di sekolah. Yang ada malah tukang-tukang bangunan yang sepertinya sedang merenovasi bangunan sekolahku… LAGI. Kayak belom cukup aja aku nggak ngenalin tuh tempat lagi.

Pos satpam tempat aku biasa turun udah nggak ada. Jadi aku masuk dari satu-satunya pintu terdekat yang terlihat.

Di depan pintu ketemu salah satu mantan guru BP-ku. Dia masih inget aku *senang* Aku juga inget dia, dibuktikan dengan bagaimana otakku langsung menyuplai namanya dengan mudah. Aku menjelaskan tujuan kedatanganku dan segera melanjutkan misiku.

Masuk ke dalem… tengak-tengok. Kantor TU di mana yah? Apakah ruangan berbentuk kantor guru yang penuh orang itu? Celingak-celinguk, ruangan ini enggak ada papan namanya! Sungguh nggak membantu. Insting mengatakan di atas, jadi aku naik ke lantai 2, yang adalah tempat ruang guru & TU semasa aku sekolah dulu… lima tahun yang lalu.

Dan berhubung semuanya udah berubah, tentu saja kantor-kantor itu udah nggak di tempatnya semula. Yang ada lab-lab keren praktikum yang modern yang dulu kami nggak pernah punya.

Sh!t. Aku bener-bener kesasar.

Turun lagi dan celingak-celinguk kayak anak ilang.

Lewat lagi di depan ruang berbentuk kantor guru yang penuh orang itu dan kali ini berpapasan dengan mantan guru SD-ku. Dia juga masih inget aku (Astaga, kok aku bisa nempel banget di ingetan guru-guru ini padahal aku udah ansos dari dulu), terus dia langsung nodong nanya apa aku masih inget dia. Kubilang inget, dan untungnya aku emang inget. Masih nggak yakin, dia nanya siapa namanya. Dengan PD aku langsung menyebutkannya. Terima kasih, otak dan memori jangka panjang yang baik! (Untung aku gak ketemu beberapa guru yang aku MEMANG lupa namanya, yang sempat kuceritakan di kunjungan terakhirku ke SMA ini… Ga enak banget kan kalo harus bilang, “Er… anu, Bu, saya inget muka Ibu, tapi nama Ibu siapa ya?”)

Akhirnya, dengan bijaksana memutuskan untuk bertanya ke orang yang paling aman untuk ditanyai: Pak Satpam! Untungnya dia ada di deket pintu. (Begitu juga dengan mantan guru BP-ku, tapi kok nggak enak ya rasanya nanyain sama dia ruang TU di mana serasa bukan mantan murid situ…) Pak Satpam tua yang baik itu pun memberi petunjuk bahwa ruang TU ada di lantai 3.

Naik-naiklah aku ke puncak gunung dan teringat betapa melelahkannya dulu mendaki tangga setiap hari itu. Di depan sebuah ruangan ada seorang ibu-ibu dan anaknya lagi duduk. Kusimpulkan bahwa ini ruang TU. Aku mengintip ke dalam dan bilang permisi sama ibu-ibu TU yang sumpah-aku-ga-pernah-tau-namanya-padahal-dulu-sering-nemenin-Tama-beli-kertas-ulangan-sama-dia… dan menjelaskan maksud kedatanganku. Katanya, suruh tinggal aja ijazahnya. Terus dia bilang, “Kok cuma selembar? Tanggung amat, daripada bolak-balik fotokopi aja dulu lima lembar gitu.”

Hoe. Oke deh… Aku bertanya apa di sekitar situ ada tempat fotokopi. (Dulu ada, tapi sekarang SUSAH BANGET menemukan apa pun lagi.) Dia bilang ada di bawah. BAWAH. Bawah… dengan yakin ga butuh petunjuk lebih lanjut, aku dengan sok tau pergi ke bawah.

Ga ketemu, tentu saja. Aku inget di mana tempat fotokopi itu berada lima tahun yang lalu, tapi akibat renovasi total, aku nggak bisa mengenali apa-apa lagi. Aku mencoba membayangkan letak tempat fotokopi itu dulu dan di mana dia bakal berada sekarang… dan gagal. (Aku memang lemah dalam hal persepsi ruang.) Lagian, kayanya nggak mungkin deh tuh tempat fotokopi masih ada di sana kalo semua tempat di sekitarnya udah digusur. (Atau lebih tepatnya, DITEMBOK.)

Terpaksa aku bertanya pada Pak Satpam yang baik lagi. Eh, dia malah bilang suru pergi ke tempat fotokopi yang di luar. Yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki tapi agak jauh. Aku akhirnya menyuruh supirku ke sana, tapi dia dengan baik hati menawarkan diri untuk jalan kaki ke sana. Oke deh. Aku pun menunggu di dalam mobil yang ber-AC seperti Princess yang baik.

Tak lama kemudian dia kembali dengan lima kopi ijazahku. Aku pun kembali ke TU. Bertanya-tanya apa ada yang sudah mulai curiga dari tadi anak aneh yang bukan penduduk sekolah ini mondar-mandir gak jelas mau ngapain. Sampai di TU, ibu-ibu TU sudah nggak ada. Yang ada bapak-bapak TU (aku tahu, AKU TAHU, aku payah banget dalam mengingat nama orang-orang administrasi) yang lagi telpon. Aku memutuskan menunggu di depan pintu yang sedikit terbuka.

Telponnya gak kelar-kelar.

Ibu-ibu yang bawa anaknya itu masih dengan sabar menunggu (kayaknya menunggu Kepala Sekolah yang lagi MIA). Dia menangkap mataku terus senyum. Aku otomatis senyumin balik, walaupun otak udah berteriak-teriak panik, “Um. Ada apa ini? Aku gak kenal dia. Aku gak kenal dia kan??”

Telponnya masih gak kelar-kelar.

Setelah sekitar lima menit, memutuskan untuk duduk di sebelah sang ibu, yang ternyata emang orangtua murid dan aku gak kenal (maklum, aku nggak terbiasa ngasih senyum ke orang tak dikenal. Kepanikan tadi murni disebabkan oleh betapa ansosnya saya…). Kenapa aku bisa tahu? Karena dia nanya, “Mau masuk ya?”

Aku berpikir: Maksudnya mau masuk TU atau masuk SMA sini? Dua hal yang sangat berbeda. Yang satu jawabannya ya, yang satu jawabannya tidak.

Akhirnya memutuskan untuk mengklarifikasi kedua pertanyaan sekaligus dengan bilang bahwa aku mau legalisir ijazah. Dia bilang, “Oh… kirain baru mau masuk sini.”

Um. Oke deh. Se-absurd apa pun itu, aku senang karena tampangku masih pantes dikira anak lulusan SMP yang baru mau masuk SMA.

Si ibu-ibu kemudian menginterogasiku, nanyain kuliah di mana lah, jurusan apa lah, IMC itu ngapain lah (SERIUS DEH, itu selalu hal pertama yang ditanyakan semua orang. Pembicaraannya selalu berjalan seperti ini… Orang: Kamu ambil jurusan apa? Aku: Komunikasi. Orang: Ada pembagian lagi? Konsentrasinya apa? Aku: IMC/Marketing Communication. Orang: Marketing Communication itu apa ya/ngapain aja ya? Aku: *menjelaskan untuk keseribu kalinya, dan setiap kali masih merasa nggak yakin aku sendiri ngerti* Biasanya kalo males aku cuma bilang, “Oh, itu advertising.” Dan aku nyaris bisa merasakan tatapan tajam dosen tercinta Mel kalo dia ampe denger penjelasan ngaco ini…)

Begitulah pembicaraan itu berlanjut. Bukannya nanyain soal bagus nggak SMA-ku itu, dia malah nanyain soal kuliahku. Jangan sampe dia berniat masukin anaknya ke universitasku tercinta… Oh tidak, jangan-jangan aku telah nggak sengaja menjerat mangsa baru! Seharusnya dia tanya-tanya soal SMA-ku aja, dong! Kan anaknya mau masuk SMA? Aku akan dengan senang hati mempromosikan SMA-ku dan bilang bahwa hari-hari terindahku kuhabiskan di sana… (walaupun sekarang kurikulum dan segalanya udah berubah drastis dan pendapatku pasti nggak valid lagi. Aduh. Aku baru saja memakai kata valid. SKRIPSI SIALAN!)

Ada satu titik di mana aku butuh waktu beberapa detik untuk menjawabnya.

Ibu-ibu itu: Komunikasi itu berapa tahun ya?
Aku: ………… Empat tahun.

SECARA TEKNIS, aku gak bohong. Kuliah komunikasi yang normal emang cuma empat tahun, tiga setengah malah kalo anaknya rajin mampus. Lima tahun itu kan cuma aku. Jadi bener kan jawabanku? Kan dia nanyanya kuliah komunikasi berapa tahun. Bukan kuliahku berapa tahun…

Tapi aku jadi khawatir kebohonganku ketahuan waktu dia nanya lagi,

Ibu-ibu itu: Kamu lulus dari sini tahun berapa?
Aku: …………… 2005. *membayangkan otaknya bekerja menghitung-hitung ini sudah tahun berapa… di mana kibulanku tadi bakal langsung ketahuan. Untungnya, kalau dia menyadari keanehan itu, dia nggak nanya lagi. Syukurlah…*

Sementara itu,

TELPONNYA MASIH GAK KELAR-KELAR.

Terus ada bapak-bapak dateng, di mana aku bertanya-tanya apa ini Kepala Sekolahnya yang sekarang (bukan, ternyata), dan begitu dia masuk TU, berapa detik kemudian bapak-bapak TU selese nelpon dan melayani dia! ARGH! Aku mulai gak tahan duduk di situ. Aku harus cepet-cepet ke kampus.

Mana panas mampus lagi. Entah global warming atau apa, tapi aku nggak inget udaranya sepanas itu di luar kelas dulu waktu aku sekolah di sana. Kayaknya dulu teduh deh. Tapi tadi pagi bener-bener serasa di oven.

Apa karena itu di lantai tiga yah? Padahal ruangan-ruangannya udah dimundurin lagi dan makin jauh dari balkon terbuka daripada waktu aku di sana dulu… Sungguh aneh.

Akhirnya memutuskan untuk memotong pembicaraan bapak-bapak TU dan bapak-bapak tak dikenal karena aku kan cuma mau naro ijazah doang. Si ibu-ibu dan anaknya tenang banget serasa di ruangan ber-AC, tapi aku udah nggak tahan. Jadi aku pun berdiri dan mengintip ruang TU lagi…

Dan dengan keajaiban (atau entah karena melihat aku yang dari tadi nungguin mo masuk), si bapak-bapak tak dikenal tiba-tiba pamit pada bapak-bapak TU dan pergi pas aku sampai di depan pintu. SYUKURLAH! Aku pun meninggalkan ijazahku, walaupun gak jelas kapan bisa diambilnya (kalo hari itu Kepseknya dateng baru besok bisa diambil… Apakah sang Kepsek sedang liburan juga?).

Aku pun pamit pada si ibu-ibu orangtua murid dan cepat-cepat kabur dari situ. Turun tangga satu lantai, dengan bodohnya langsung belok kiri ke arah luar… dan menyadari bahwa INI KAYAKNYA BUKAN JALAN KELUAR YANG TADI DEH. Aku menemukan diriku di depan aula olahraga, di mana dulu V pernah ngumpet waktu telat masuk kelas Ekonometri gara-gara semua anak yang telat wajib joget di depan kelas. Dengan bodoh menyadari bahwa aku masih di lantai dua, bukan lantai satu.

ARGH! Kesasar di SMA sendiri, nggak lucu banget. Merasa bodoh, turun tangga lagi dan AKHIRNYA keluar dengan selamat.

Hari Senin kayaknya baru aku niat balik ke sana. Daripada Jumat dateng tapi ternyata belom ditandatangan…

Doakan petualanganku ke sana waktu mengambil ijazah yang udah dilegalisir nggak begitu penuh halangan dan rintangan seperti hari ini, ya! (Dan supaya aku nggak kebetulan bertemu guru yang aku lupa namanya… terus juga supaya aku lebih nyadar arah dan bisa mengingat jalan dengan betul.)

Thursday, April 15, 2010

Jung Personality Type Test

1
Udah pernah dites dulu, tapi belom pernah disimpen. Kayanya blog tempat yang bagus untuk naro ini...

ISFJ Profile (Introverted Sensing Feeling Judging) Analysis

ISFJs are characterized above all by their desire to serve others, their "need to be needed." In extreme cases, this need is so strong that standard give-and-take relationships are deeply unsatisfying to them; however, most ISFJs find more than enough with which to occupy themselves within the framework of a normal life. (Since ISFJs, like all SJs, are very much bound by the prevailing social conventions, their form of "service" is likely to exclude any elements of moral or political controversy; they specialize in the local, the personal, and the practical.)

ISFJs are often unappreciated, at work, home, and play. Ironically, because they prove over and over that they can be relied on for their loyalty and unstinting, high-quality work, those around them often take them for granted--even take advantage of them. Admittedly, the problem is sometimes aggravated by the ISFJs themselves; for instance, they are notoriously bad at delegating ("If you want it done right, do it yourself"). And although they're hurt by being treated like doormats, they are often unwilling to toot their own horns about their accomplishments because they feel that although they deserve more credit than they're getting, it's somehow wrong to want any sort of reward for doing work (which is supposed to be a virtue in itself). (And as low-profile Is, their actions don't call attention to themselves as with charismatic Es.) Because of all of this, ISFJs are often overworked, and as a result may suffer from psychosomatic illnesses.

In the workplace, ISFJs are methodical and accurate workers, often with very good memories and unexpected analytic abilities; they are also good with people in small-group or one-on-one situations because of their patient and genuinely sympathetic approach to dealing with others. ISFJs make pleasant and reliable co-workers and exemplary employees, but tend to be harried and uncomfortable in supervisory roles. They are capable of forming strong loyalties, but these are personal rather than institutional loyalties; if someone they've bonded with in this way leaves the company, the ISFJ will leave with them, if given the option. Traditional careers for an ISFJ include: teaching, social work, most religious work, nursing, medicine (general practice only), clerical and and secretarial work of any kind, and some kinds of administrative careers.

While their work ethic is high on the ISFJ priority list, their families are the centers of their lives. ISFJs are extremely warm and demonstrative within the family circle--and often possessive of their loved ones, as well. When these include Es who want to socialize with the rest of the world, or self-contained ITs, the ISFJ must learn to adjust to these behaviors and not interpret them as rejection. Being SJs, they place a strong emphasis on conventional behavior (although, unlike STJs, they are usually as concerned with being "nice" as with strict propriety); if any of their nearest and dearest depart from the straight-and-narrow, it causes the ISFJ major embarrassment: the closer the relationship and the more public the act, the more intense the embarrassment (a fact which many of their teenage children take gleeful advantage of). Over time, however, ISFJs usually mellow, and learn to regard the culprits as harmless eccentrics :-). Needless to say, ISFJs take infinite trouble over meals, gifts, celebrations, etc., for their loved ones--although strong Js may tend to focus more on what the recipient should want rather than what they do want.

Like most Is, ISFJs have a few, close friends. They are extremely loyal to these, and are ready to provide emotional and practical support at a moment's notice. (However, like most Fs they hate confrontation; if you get into a fight, don't expect them to jump in after you. You can count on them, however, run and get the nearest authority figure.) Unlike with EPs, the older the friendship is, the more an ISFJ will value it. One ISFJ trait that is easily misunderstood by those who haven't known them long is that they are often unable to either hide or articulate any distress they may be feeling. For instance, an ISFJ child may be reproved for "sulking," the actual cause of which is a combination of physical illness plus misguided "good manners." An adult ISFJ may drive a (later ashamed) friend or SO into a fit of temper over the ISFJ's unexplained moodiness, only afterwards to explain about a death in the family they "didn't want to burden anyone with." Those close to ISFJs should learn to watch for the warning signs in these situations and take the initiative themselves to uncover the problem.

Famous ISFJs:
St. Teresa of Avila (Teresa de Jesus)
Louisa May Alcott
Alfred, Lord Tennyson
Queen Elizabeth II of England
Robert E. Lee
Queen Mary I ("Bloody Mary") of England

Guardian Portrait of the Protector (IFSJ)

We are lucky that Protectors make up as much as ten percent the population, because their primary interest is in the safety and security of those they care about - their family, their circle of friends, their students, their patients, their boss, their fellow-workers, or their employees. Protectors have an extraordinary sense of loyalty and responsibility in their makeup, and seem fulfilled in the degree they can shield others from the dirt and dangers of the world. Speculating and experimenting do not intrigue Protectors, who prefer to make do with time-honored and time-tested products and procedures rather than change to new. At work Protectors are seldom happy in situations where the rules are constantly changing, or where long-established ways of doing things are not respected. For their part, Protectors value tradition, both in the culture and in their family. Protectors believe deeply in the stability of social ranking conferred by birth, titles, offices, and credentials. And they cherish family history and enjoy caring for family property, from houses to heirlooms.

Wanting to be of service to others, Protectors find great satisfaction in assisting the downtrodden, and can deal with disability and neediness in others better than any other type. They are not as outgoing and talkative as the Provider Guardians [ESFJs], and their shyness is often misjudged as stiffness, even coldness, when in truth Protectors are warm-hearted and sympathetic, giving happily of themselves to those in need.

Their reserve ought really to be seen as an expression of their sincerity and seriousness of purpose. The most diligent of all the types, Protectors are willing to work long, hard hours quietly doing all the thankless jobs that others manage to avoid. Protectors are quite happy working alone; in fact, in positions of authority they may try to do everything themselves rather than direct others to get the job done. Thoroughness and frugality are also virtues for them. When Protectors undertake a task, they will complete it if humanly possible. They also know better than any other type the value of a dollar, and they abhor the squandering or misuse of money. To save, to put something aside against an unpredictable future, to prepare for emergencies-these are actions near and dear to the Protector's heart. For all these reasons, Protectors are frequently overworked, just as they are frequently misunderstood and undervalued. Their contributions, and also their economies, are often taken for granted, and they rarely get the gratitude they deserve.

Mother Teresa, George H.W. Bush, Jimmy Stewart, and Tsar Nicholas II are examples of Protector Guardian style.

Friday, March 19, 2010

Cerita Dari Singapura.. Sekitar Sebulan Yang Lalu

3
Hmm.. hmm.. Mulai banyak debu lagi nih. Mulai banyak sindiran-sindiran dari Mel baik di shoutbox maupun entry-entrynya. Aku jadi ga enak disebut-sebut terus, promosi gratisnya sering banget sih.

Udah lama kepikir pengen update soal ke Singapur kemaren. Kok kayanya kalo ke sana, kerjaannya itu-itu aja yah. Dengan perkecualian kunjungan bisnis dan segala macem urusan orangtuaku, aku kayanya cuma punya sedikit tujuan tertentu:

- Makan Hainan Chicken Rice di Food Republic (namanya General something gitu deh.. itu udah terjamin enak) atau di lantai paling atasnya Far East Plaza (sama enaknya, mungkin lebih enak)
- Nyari es krim potong yang dijual di sepanjang jalan Orchard di gerobak-gerobak dan dimakannya pake wafer, rasanya juga udah selalu sama: Mocha Chip (yang paling enak)
- Mengunjungi trio toko buku utama yang sudah menjadi tujuan pasti: Sunny Bookshop di Far East Plaza (toko second-hand books, bisa rental pula, murah), Borders di Wheelock Place, dan Kinokuniya di Takashimaya (super besar dan terlengkap dari semuanya!)

Hmm... hmm. Apa lagi ya?

Selain itu sih nemenin yang lain shopping ke mana saja. Tujuanku kayaknya cuma tiga itu aja. Agak menyedihkan memang, tapi karena udah keseringan ke sana jadi gak tau mau ngapain lagi. Aku sih ke sana cuma untuk me-restock koleksi buku-buku imporku aja, soalnya di sini gak ada toko buku impor yang jual buku-buku sebanyak itu, apalagi yang baru-baru. Mengingat sekarang aku udah jadi pembaca eksklusif buku-buku impor, akhirnya kami ke sana setiap beberapa kali setahun, walaupun tumpukan buku-bukuku yang belom dibaca tampaknya ga menyusut-menyusut walaupun udah berbulan-bulan gak pergi. Kayaknya aku beli buku jauh lebih cepet daripada kemampuanku membacanya. Laper mata terus nih.

Udah gitu sekarang udah sukses belanja di Amazon.com, jadi ketagihan belanja di sana terus. Hiks! Kartu kreditku yang malang! Cuma yang nyebelin ya ongkos kirimnya yang gak kira-kira itu... Kapan ya ada cabang Amazon.com di Indonesia? Kalo udah ada, aku jadi orang terbahagia sedunia deh, bisa shopping buku dari rumah tanpa biaya tambahan yang banyak.

Wow, ngelanturnya jauh banget. Satu hal lagi yang mau kuceritain adalah sesuatu yang membuka aib keluargaku....

....

Yaitu, ternyata mamaku sama kleptonya dengan tanteku!!

(Itu loh, yang nyolong penjepit jahe di Sushi Tei di entry kapan itu, dan yang pengen bawa pulang botol Equil ijo cantik itu)

Mungkin malah mamaku sumbernya. Mungkin kedua kakak beradik ini saling mengajari satu sama lain!

Dan kemaren aku dipaksa menjadi kaki tangan proses klepto ini T_T

Dari sejak aku kecil, mamaku udah senang ngambilin perabotan makan yang ada di pesawat. Dan mengingat kami sering banget naik pesawat, koleksi kita udah nggak kira-kira. Semua sendok, garpu, tempat puding bahkan tempat sambel di rumah berasal dari pesawat. Bahkan mungkin ada yang punya logo Garuda Indonesia segala. Biasanya aku cuma geleng-geleng melihat perbuatan ilegal ini.

Tapi kemaren, berhubung aku yang duduk di pojokan deket tas, aku dipaksa menjadi kaki tangan penyelundup barang-barang tersebut! Dengan sangat merasa berdosa akhirnya aku menerima sendok-sendok garpu itu dan menyelipkannya ke tas kami! Jadi sekarang aku sudah secara resmi menjadi bagian dari Operasi Penyelundupan/Kleptomania Perabotan Makan dari Pesawat. Ugh! Wahai para maskapai penerbangan, ampunilah kami sebab mamaku tidak tahu apa yang ia perbuat!

Wednesday, January 20, 2010

Negeriku Sayang, Negeriku Malang...

4
Udah ngeliat sinetron rip-off Avatar yang baru diputer itu? Aku udah denger beritanya dari Twitter beberapa hari lalu (karena aku nggak pernah nonton channel lokal dalam sekitar lima tahun terakhir, dan INI adalah persis sebabnya kenapa aku ogah nyentuh TV lokal lagi) tapi baru hari ini dapet link yang lengkap dengan judul dan sinopsisnya. Udah bukan sedih lagi ngeliatnya, tapi bener-bener malu sama negara sendiri. Aku sama sekali nggak ngerti apa yang ada di pikiran orang-orang yang produksi dan maen di film itu. Kok artisnya juga mau sih mempermalukan diri sendiri habis-habisan sebagai penjiplak seperti itu? Apa mereka nggak punya harga diri? Apa mereka kira karena Avatar sukses besar, maka mereka tinggal bikin tiruan nggak berkelas dengan budget super kecil dan efek nggak mutu lalu otomatis mereka bisa meraup keuntungan besar instan juga?

Astaga, betapa sederhananya cara berpikir orang-orang di dunia perfilman kita. Aku jadi agak prihatin apa sebagian besar dari kita masih punya cara pikir yang terbelakang seperti itu. Bukannya terinspirasi untuk bikin sesuatu yang orisinil dan sama kerennya, mereka malah memilih jalan yang paling gampang: njiplak. Dan mereka bahkan nggak berusaha membuat jalan ceritanya beda sedikit pun! Semuanya persis sama, kecuali bagian manusia mengendalikan Avatar-nya, dan itu pun dijamin cuma karena mereka nggak mampu nampilin teknologi semacam itu. Sedih, sedih, dan malu sekali aku pada negaraku tercinta di saat-saat seperti ini... Memang bisnis jiplak-menjiplak ini udah ada sejak dulu, mulai dari jamannya Meteor Garden dan tiruannya yang aku judulnya udah lupa, pokoknya yang maen si Roger Danuarta itu... terus sinetron Violet yang ngejiplak W.I.T.C.H... sinetron Tergiur (judul macam apa itu?) yang katanya niru-niru Charmed... pokoknya trademark Indonesia adalah tukang ngejiplak deh... yang sangat sangat menyedihkan.

Yang lebih menggelikan lagi, sinopsisnya aja tata bahasanya jelek banget. Udah gitu ada dua tokoh yang namanya sama bersekongkol, nggak tau sengaja atau emang segitu nggak kreatifnya atau yang nulis entah kenapa bikin kesalahan yang sama berkali-kali. Serius deh, ini bikin kepercayaanku akan dunia perfilman kita hancur. Aku selalu bermimpi pengen jadi script writer suatu hari nanti, tapi kayanya jadi penulis skenario di Indonesia nggak susah-susah banget. Bisa nulis sinopsis yang bisa dimengerti aja udah hebat banget. Bukannya sombong, tapi kalo semua skenario film dan sinetron di negara ini kaya gini sih, aku bisa jadi terkenal dalam sekejap. Dan itulah sebabnya aku selama ini nggak membatasi mimpiku menjadi penulis skenario lokal aja. Jelas, jadi penulis skenario di sini nggak banyak artinya. Bagus juga aku selalu bermimpi jadi screenwriter yang diakui di Hollywood dan bisa memenangkan Oscar untuk naskahku suatu hari.

Kamu anggap impian itu terlalu tinggi? Well, kata orang, mereka yang berambisi setinggi mungkinlah yang lebih punya kemungkinan sukses. Dan aku jelas berharap bisa jadi penulis skenario yang punya integritas dan harga diri, yang hanya akan mendapat penghargaan atas karya-karya yang orisinil dan pantas dipuji. Para calon penulis skenario Indonesia lainnya, kuharap kalian punya pemikiran yang sama untuk menyelamatkan generasi kita dari reputasi memalukan ini.

Saturday, January 16, 2010

Quote of The Day

2
Atas petunjuk Mel, aku berhasil masukin Shoutbox kembali plus visitor counter. Hore!

Tidak ada hal menarik yang bisa diceritakan, kecuali kemaren merasa girang waktu akhirnya nemu Rubik's Cube 3x3 di toko [/nerdy moment]. Yep, selama ini aku belom pernah punya dan selalu pengen nyoba maen. Setelah sok nyari-nyari yang ukuran lebih gede tapi nggak ada, memutuskan untuk latihan pake 3x3 dulu. Sampai di rumah, semangat mengacak-acak susunannya. Setelah itu... garuk-garuk kepala karena ternyata ngembaliinnya lebih susah daripada yang dikira. Kata V, untuk solve Rubik's Cube ada rumus matematisnya. Gawat deh, otakku kan gak bisa dipake buat itung-itungan. Setelah itu kami berdua mengangguk-angguk mengerti kenapa Mel bisa menyelesaikan sampe yang 5x5: karena dia dulu anak IPA!

Soal quote of the day yang disinggung di judul... yap, hari ini tumben-tumbennya mamaku menunjukkan seberapa delusionalnya dia. Jadi kami sedang membicarakan ke mana adek sepupuku bakal kuliah nanti. Ini adalah adek dari sepupu satunya yang sudah duluan mengikuti jejakku kuliah di kampusku tercinta. Dan seperti yang pernah kusinggung sebelumnya, dia juga berniat masuk ke sana, atau ke luar negeri sekalian. Keluarga kami lagi heboh bergosip soal bagaimana mamanya pengen banget anaknya itu masuk universitas bergengsi padahal belom tentu bisa bayar. Katanya, kalo nggak bisa keluar negeri, minimal masuk kampusku tercinta. Lalu, terdengarlah quote yang nggak bisa dipercaya itu...

Mama: Ya iya, tapi kan [censored (nama universitasku tercinta)] itu kan number one di Indonesia!

Aku: *terkaget-kaget akan kenyataan bahwa mamaku ternyata juga sudah termakan iklan marketing kampus yang telah berhasil menipu banyak orang itu!*

Mungkinkah dia sudah membaca hasil survei palsu yang ada di suatu majalah tertentu yang punya relasi dengan kampusku tercinta itu?

Karena... kampusku? Nomor satu di Indonesia?

Um, no, Mom, it's just the most expensive.

Tuesday, January 12, 2010

How To Be An Active Blogger

3
*Nyolong siasat bikin judul menarik dari Mel biar muncul di search-nya Google*

Apakah Anda sudah menelantarkan blog Anda selama berbulan-bulan? Apakah dulu Anda seorang blogger yang rajin, tapi sekarang tiba-tiba melihat blog Anda membuat Anda ingin cepat-cepat kabur ke website lain? Apakah pemandangan blog yang sunyi senyap tidak dikunjungi orang cuma membuat Anda makin depresi? Lalu Anda berpikir... bagaimana caranya menjadi blogger yang aktif dan punya banyak pembaca lagi?? Padahal Anda tidak punya bahan menarik untuk ditulis!

Cara nomor satu paling ampuh untuk mengembalikan mood untuk update (saking mood-nya sampe yang nggak penting macemnya "tadi pagi gue bangun dan ngeliat ada tukang sayur di depan rumah" juga dijadiin bahan) adalah: GANTI LAYOUT ANDA!

Seperti yang bisa Anda sekalian lihat, saya sedang menerapkan nasehat saya sendiri! Untuk meningkatkan mood untuk update, saya telah mencari premade layout (karena males ngutak-ngatik HTML dan CSS satu-satu -> alasan seorang blogger pemalas) untuk blogger dan akhirnya menemukan layout yang imut-imut dan girly ini. Namanya "She's A Lady", dan sekarang tiba-tiba itu pun sudah menjadi nama baru blog ini, dari yang tadinya Double Sided Mirror jadi She's A Lady In Disguise. Bukannya berarti aku menyamar jadi cewek loh, tapi artinya aku ini menyamar menjadi berbagai hal (contoh: menyamar menjadi mahasiswa pintar dan rajin di kampus) setiap hari.

Cuma karena blogger ternyata udah lama meng-update format template-nya, dan aku baru sadar hari ini padahal kayanya itu update udah bertahun-tahun (ini format untuk posting-nya juga ternyata baru dan baru ku-update jadi ga usah capek-capek ngetik HTML untuk miringin kata atau bold lagi karena udah Rich Text), alhasil aku bingung sesaat oleh semua kecanggihan baru ini. Sampe-sampe di mana biasanya aku bisa ngedit sendiri CSS dari premade layout sesuai preferensiku, sekarang aku nggak berhasil memunculkan tanggal entry tanpa membuatnya keluar dengan font gede-gede mengganggu yang bikin layout-nya nggak imut lagi (default setting-nya emang hidden). Ugh, yang mengganggu sekali, karena dalam blog tanggal entry itu penting. Moga-moga ntar aku bisa utak-utik lagi deh. Nah, munculin tanggal aja nggak bisa, boro-boro ngembaliin shoutbox. Udah nggak berani nyentuh CSS versi barunya sama sekali deh. Ada yang mau bantuin? Sebenernya upgrade ini dalam beberapa hal mempermudah juga sih, hampir sama kaya Google Sites, tinggal geser sana geser sini sama input teks tanpa harus masukin kode-kode dari scratch lagi. Tapi kadang-kadang terlalu canggih bikin pusing juga.

Yah, mari berharap paling nggak ini bisa mengembalikan mood untuk update! Sejauh ini aku sudah berhasil menulis tiga entry berturut-turut sejak episode kembalinya sang blogger yang sangat dramatis!

P.S. Kalo mau comment klik gambar balon pink di kanan atas masing-masing entry. Maaf untuk ketiadaan shoutbox sementara yang mengganggu kenyamanan Anda.

Monday, January 11, 2010

One Small Step For A Girl...

4
Oke, Mel bakal senang melihat update dua entry sekaligus... tapi sepertinya aku lagi mood nge-blog malam ini. Biasa, kalo udah deket-deket semester baru mood swing sangat berperan dan bisa kadang-kadang (seringnya) depresi mendadak. Tapi ini bukan tentang depresi saya kok. Baru nyadar, di shoutbox ternyata ada komentar yang menarik... dari seorang Mina, yang kuharap nggak keberatan disinggung di sini, yang sampai ke sini dari blog Droo. Duh, jadi malu karena blog saya isinya hal-hal nggak penting begini! *ditimpuk massa*

Iya, intinya, entah kenapa aku jadi seneng banget ngeliat ada yang mencariku sampai ke sini karena baca buku terjemahanku. Nggak nyangka aja gitu, bisa punya penggemar *ditimpuk lagi karena terlalu narsis* Biarin! Biarkanlah aku merasa terkenal sejenak! Walaupun cuma numpang nama, karena pengarang aslinya adalah Ally Carter. Penerjemah adalah profesi yang sangat rendah hati. Kenapa? Karena walaupun seluruh isi tulisan kami dipublikasikan, nama kami tidak muncul di sampul buku sedikit pun. Hanya tercetak kecil-kecil di halaman pertama di dalam buku, di sebelah kiri, yang mana mungkin cuma sekitar 5% orang (hanya perkiraan kasar, aku belom betul-betul mengadakan survei loh) yang pernah melirik ke sana karena memang nggak ada hal penting di sana kecuali informasi lebih mendetail tentang buku tersebut yang hanya punya fungsi administratif.

Dan aku nggak keberatan, karena memang aku nggak pengen jadi terkenal sebagai penerjemah. Mimpiku adalah terkenal menjadi penulis suatu hari nanti, di mana namaku betul-betul tercantum sebagai pengarang asli buku itu, bukannya cuma seseorang yang melakukan alih bahasa dan nggak menyumbangkan idenya sedikit pun, dan nggak punya andil sedikit pun tentang bagus-jeleknya cerita itu. Hari ini pun iseng-iseng aku meng-Google judul-judul buku terjemahanku, dan menemukan bahwa bahkan di beberapa site yang menampilkan informasi mendetail buku selain judul dan pengarang, sampai ke nomor ISBN buku itu plus ukuran dalam centimeternya, nama si penerjemah atau alih bahasa tetap nggak terlihat di mana pun. Dengan cara yang sangat berlawanan, kami ini sangat penting (karena tanpa kami, buku itu nggak bakal pernah ada), dan juga sangat nggak penting. Nggak ada pembeli buku yang beli buku tergantung dari penerjemahnya. Nggak ada pembeli buku yang penasaran siapa yang sudah berjasa mengubah buku yang aslinya berbahasa Inggris itu ke bahasa Indonesia supaya mereka yang nggak bisa bahasa Inggris bisa menikmatinya juga.

Dan sekali lagi, aku nggak keberatan. Aku masih nggak mencari ketenaran. Suatu hari nanti, aku masih bermimpi menerbitkan buku karanganku sendiri.

.....
.....
.....

Tapi... tetep aja, begitu ketemu review yang menyebut namaku seperti ini, harus menahan diri nggak melompat-lompat girang kayak orang gila. *kabur*

Yah, inilah sedikit curahan hati seorang penerjemah.

P.S. Coba angkat tangan siapa yang belom pernah coba meng-Google diri sendiri?

Sunday, January 10, 2010

Cardiopulmonary Resuscitation

2
*sapu-sapu debu... usir-usir laba-laba... bersih-bersih blog*

Hmm.. masih ada juga ini blog. *ditimpuk massa*

Ahaha, yah, di sinilah saya... muncul kembali setelah akhirnya mengunjungi blog baru Mel itu. Awalnya aku cuma mau update untuk bilang, yep, aku membaca entry episode nyaris telat UAS CRM itu, yang kamu berharap aku gak lagi iseng-iseng blogwalking dan meninggalkan komentar aneh di situ. Dan memang aku nggak meninggalkan komentar aneh, karena itu entry udah lama banget, kamu juga mungkin nggak nyadar kalo aku ninggalin komentar (kecuali kamu dapet e-mail notification). Yang pasti, reaksiku terhadap entry tersebut adalah ketawa sepuas-puasnya. Aku nggak bisa membayangkan reaksi (mantan) dosen tercintamu kalo dia sampe baca entry itu (jadi tergoda untuk ngasih link-nya nih)... pasti dia geleng-geleng kepala sambil urut dada. Serius deh, kadang-kadang aku merasa... you're that girl who can get away with anything.

Supaya entry ini nggak jadi ajang ngirim surat pribadi buat Mel, mari kita membicarakan nasib blog ini. Oh ya, omong-omong, judul entry-nya bukan karena aku udah masuk sekolah kedokteran ataupun tiba-tiba kepengen jadi dokter. Itu kepanjangan dari CPR yang dicari dengan Google. Maksudnya, mau memberikan napas buatan buat blog yang udah lama banget dying ini. Lagian kata Mel sebagian besar pengunjungnya nyampe ke blog dia dari sini... seaneh apa pun pernyataan itu, aku ini teman yang baik dan (akhirnya) memutuskan untuk membantu sesama blogger (yang ternyata selama ini minta update dengan maksud terselubung!)

Tuh kan, jadi surat pribadi lagi. Iya, nasib blog. Ada seseorang yang penasaran ke mana aku menghilang, ke mana aku hijrah menulis blog karena aku cuma bilang "di tempat lain". Yah, sebetulnya tempat lain itu adalah LiveJournal, dan aku juga udah pernah ngasi URL-nya, tapi karena statusnya Friends Only, kalo kalian nggak punya account LJ juga, jadi nggak bisa baca. Entry-entry di sana beda sama di sini. Jauh lebih pribadi dan banyak omongan gak jelas dan gak penting tentang hal-hal sepele sehari-hari. Itulah sebabnya blog yang itu nggak public seperti ini. Anehnya, di sana aku malah nggak pernah menyinggung-nyinggung universitasku tercinta... (mungkin memang lebih enak menyindir sesuatu di tempat yang bisa dilihat publik yah?)

Omong-omong soal itu, resolusi tahun ini cuma satu: LULUS. Pokoknya lulus tahun ini atau nggak sama sekali. Aku udah capek sekolah, dan ini bener-bener tahun terakhir aku masih mau bersabar dateng ke kampus secara teratur. Setelah itu, goodbye selamanya, deh! Bener deh, aku yakin pas upacara kelulusan nanti, aku bakal nangis bahagia saking girangnya akhirnya bisa lepas dari situ. Ternyata masuknya gampang banget, keluarnya agak-agak susah...

P.S. Teman bloggerku yang setia, setuju banget sama entry kangen masa SMA. Itu betul-betul masa terindah dalam hidup. Memang waktu sekolah dulu hidup rasanya simple dan aman banget ya... *sniff*