Thursday, June 26, 2008

Executive-Class-Newbie on A Plane [Snakes on A Plane: A Sequel]

2
Mmm.. oke, cerita ini memang udah lama banget. Tapi sayang kalo gak dimasukin. Waktu kejadiannya aja panik banget nyari-nyari bolpen dan kertas untuk nulis supaya jangan sampe lupa. Sayangnya bolpen ada di tas tapi ga ada kertas di dalam pesawat. Adanya cuma kantong buat muntah, dan... aku gak mau diliatin pramugari dengan curiga lagi nulis-nulis di atas kantong itu. Yep, akhirnya... berjuta-juta tahun kemudian baru cerita ini bisa didokumentasikan.

Jadi begini ceritanya, kira-kira seminggu lalu aku kabur ke Singapore lagi untuk men-stok ulang buku-buku berbahasa Inggris keren yang kayaknya ada di semua negara kecuali di sini. Lalu entah bagaimana aku berakhir dengan tiket Executive Class sementara mamaku di Economy Class. Jadilah aku duduk sendiri, tanpa teman, sendirian...

Di Executive Class.

Ini baru kali keduanya aku duduk di sana. Yang pertama terjadi beberapa waktu lalu, waktu aku, mama, papa, dan kakakku lagi jalan-jalan ke Bali. Dalam perjalanan pulang, waktu mau masuk pesawat, tiba-tiba si pemeriksa tiket memanggil kami dan menyuruh kami tunggu sebentar. Kami berpandangan panik. Apakah kami ketahuan menyelundupkan barang ilegal? Apakah paspor kami palsu? Apakah kami diduga sebagai teroris? *ditimpuk karena kebanyakan nonton film action*

Ternyata, kami di-upgrade ke Executive Class.

Tapi kejadian itu ternyata nggak banyak menolong, mengingat kekacauan yang terjadi pada perjalanan kali ini. Aku sudah lupa pengalaman dulu itu, jadi masih agak norak deh waktu terbang ke Singapore itu. Well, intinya sih, kalo duduk di sana, pramugari rajin mondar-mandir ngasih segala macem. Kayaknya jarang banget dapet waktu untuk sendiri. Awalnya dikasih minum (dalam gelas, sementara di Economy Class dalam kemasan plastik yang harus dibuka sendiri dan kalau sampe muncrat dalam prosesnya tanggung sendiri akibatnya), dan sesudah itu take off tak lama kemudian. Aku cukup senang karena sebelahku kosong, bahkan kursi di seberang gang barisanku juga kosong. Hmm... serasa private jet sendiri.

Setelah take off, aku memundurkan sandaran kursi. Secara instingtif memencet tombol yang paling depan. Ups. Lho? Kok malah sandaran kaki yang naik? Aku nunduk dan ngeliat ternyata ada tiga tombol. Hmm, satu untuk mundurin dan satu untuk majuin lagi. Yang kupencet tadi buat sandaran kaki. Biasanya di Economy cuma ada satu. Setelah mempelajari ini, aku memencet tombol yang benar, dan mumpung tuh sandaran kaki dah setengah keluar, kupencet juga biar keluar sekalian.

Ahh... nyaman.

Waktu makan pun datang. Untungnya aku ingat fakta yang satu ini dari penerbangan di Executive Class sebelumnya; meja ada di bawah handrest, bukan di sandaran kursi depan. Dengan bangga mengeluarkan meja sebelum si pramugari datang untuk menghidangkan makanan (yang entah bagaimana aku cuma dapet sisa dari 2 pilihan yang ada, padahal penumpang di kelas itu sedikit. Huff...). Ternyata makan sambil sandaran kakinya naik itu nggak enak. Nah, waktu aku mau nurunin lagi inilah sedikit masalah terjadi.

....
....
....

Yang mana tombolnya??

Aku memeriksa tombol di handrest sebelah kanan. Ada gambar sandaran kaki lagi, tapi waktu kucoba gak terjadi apa-apa. Yang ada malah tuh sandaran makin melorot ke bawah. Duh. Gimana cara naikinnya lagi?? Sial. Sial. Nanti pas mendarat kan semuanya harus dibalikin ke posisi awal. Haruskah aku nanya dan mengaku aku gaptek di Executive Class? Panikpanik.

Aku memutuskan untuk makan dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Masih banyak waktu untuk mencari tahu cara mengembalikannya ke awal... Setelah selesai makan, sang pramugari yang setia melayani menawarkan sekontainer kecil es krim Haagen Dasz. Haagen Dasz! Yang mahal itu! *norak mode: ON*

Aku segera mencomot yang rasa cokelat dengan PD. Setelah sang pramugari pergi, aku menatap tu kontainer kecil. Mmm... sendoknya mana ya? Aku memeriksa peralatan makanku dan hanya menemukan satu sendok. Hm. Hm. Aku memutuskan untuk membuka tutupnya saja, berharap sendoknya akan muncul secara ajaib di dalamnya...

Dan ternyata, memang ada sendok di dalam sana. Oh.

Yah, setidaknya, kurasa itu sendok. Bentuknya agak gak jelas. Dua ujungnya bulet dan panjangnya gak seberapa. Lebih mirip tutup kaleng Coca Cola tanpa lubang. Meskipun gak yakin aku bisa makan dengan itu, dan masih gak yakin itu memang sendok, akhirnya aku memakainya dengan PD, berdoa agar si pramugari gak ngeliat trus ngedatengin dan menjelaskan dengan sopan bahwa itu bukan sendok, melainkan... apalah. Benda nggak penting yang tidak seharusnya dipakai untuk makan pokoknya.

Tapi aku berhasil menghabiskan es krim itu dengan tenang, walaupun sedikit susah payah. Setelah semua peralatan makan dibereskan, aku kembali mengutak-atik tombol-tombol untuk mencari cara mengembalikan sandaran kaki sialan itu ke posisi awal. Kudorong-dorong sekuat tenaga tapi gak ada yang berhasil. Akhirnya aku memutuskan untuk baca buku aja dan menghadapi yang harus dihadapi kalau sudah waktunya saja.

Di tengah-tengah kegiatan membaca, tiba-tiba mendapat pencerahan. Kenapa gak pake tombol yang sama yang tadi buat ngeluarin aja? Kucoba lagi tuh tombol. Kudorong sekeras mungkin tuh sandaran. Dan... bergerak! Akhirnya! Yay! Ternyata memang tombol itu. Dan ternyata memang butuh sedikit tenaga. Berhasilllll.

Sebelum mendarat, si pramugari menyuruhku mengembalikan sandaran kursi ke posisi awal. Tidak lupa dengan petunjuk "tombol yang paling belakang". Yang ITU sih aku tahu.